Oleh: M. Romadhon – LARAS (Lingkaran Analisis)
Permasalahan dalam demokrasi tidak hanya terbatas di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Termasuk barat lainnya baik di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol atau tempat lahirnya peradaban Barat – Yunani, dimana para pemilih bersikap apatis, terjadinya kecurangan pemilu, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan dan korupsi adalah kasus-kasus yang terlalu umum.
Sinkron dengan Rezim Koruptif
Secara lebih mendasar, fakta riil kehidupan demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia, telah melahirkan berbagai kerusakan baik pada alam, manusia, maupun kehidupan itu sendiri. Demokrasi adalah menyerahkan hukum kepada rakyat di mana tolok ukurnya adalah suara mayoritas. Di mana ada suara mayoritas, di situ dianggap ada kebenaran. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu diputuskan oleh nas-nas syara’, bukan oleh jumlah suara atau kebanyakan manusia.
Bagi setiap masalah politik, publik makin tahu bahwa kebohongan adalah sebuah solusi demokrasi. Pada hari ini terdengar mantra demokrasi adalah jawaban atas semua kerusakan yang kita rasakan. Pada dekade terakhir, kita telah melihat bagaimana Barat mengirim anak-anaknya untuk berperang di Irak dan Afghanistan untuk menyebarkan demokrasi, sementara di negerinya sendiri rakyatnya mengucilkan politik dalam demokrasi. Rezim Jokowi melanjutkan liberalisasi di banyak sektor dan menambah utang luar negeri dalam kerangka politik demokrasi.
Demokrasi tidak lebih dari sekedar pemilu dan mereka yang percaya pada demokrasi mengambil sistem politik yang melembagakan kedaulatan legislatif – baik kedaulatan dalam masyarakat secara langsung maupun kedaulatan dalam perwakilan mereka yang terpilih sebagai dasar demokrasi- yaitu kemampuan untuk memilih dan membuat hukum dalam wadah sekulerisme adalah karakteristik kunci dari demokrasi.
Ada beberapa kelemahan mendasar dengan sistem pemerintahan ini, yang membuatnya tidak cocok bagi negeri-negeri Muslim. Pemilu di dunia muslim seperti di Mesir, Irak, Afghanistan dan Pakistan semuanya menghasilkan kelompok elit yang korup, dan beralihnya Rusia kepada demokrasi telah menghasilkan oligarki yang lebih tertarik dalam menghasilkan uang daripada melayani masyarakat. Bagaimana dengan Indonesia? Anda bisa menilainya sendiri.
Bertentangan
Demokrasi bertentangan secara total dengan Islam. Ini tentang pilar pertama demokrasi yaitu kedaulatan rakyat. Adapun pilar kedua, kekuasaan milik rakyat, memang dalam Islam, kekuasaan dimiliki oleh rakyat. Rakyatlah yang berhak memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dipilih rakyat sebagai penguasa itu. Meski secara global tampak sama, namun dalam filosofi dan rincian prakteknya, demokrasi berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam.
Dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum yang dibuat oleh rakyat. Sementara dalam Islam, rakyat memilih penguasa untuk menerapkan hukum-hukum syara’. Sebab Islam memerintahkan kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syara’ (QS al-Maidah [5]: 48, 49). Islam mengaitkan aktivitas menjadikan Rasul SAW sebagai pemutus perkara yang terjadi di tengah manusia yaitu artinya berhukum kepada syara’ sebagai bukti keimanan (QS an-Nisa [4]: 65). Bahkan Allah SWT menetapkan siapa saja yang memutuskan perkara dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut selain hukum syara’ sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47), bahkan (QS al-Maidah [5]: 44). Karena itu, Allah menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi orang-orang yang beriman, kecuali tunduk kepada keputusan yakni hukum yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS al-Ahzab [33]: 36)
Semua itu menegaskan bahwa dalam Islam, penguasa dipilih oleh rakyat tidak lain adalah untuk menerapkan dan menjalankan hukum syara’, bukan hukum positif buatan manusia seperti dalam demokrasi. Jelas dalam filosofi pelaksanaan pilar kekuasaan milik rakyat ini, demokrasi bertentangan dengan Islam.
Sementara dalam rincian prakteknya, dalam demokrasi pelimpahan kekuasaan kepada penguasa dilakukan menurut teori kontrak sosial, sementara dalam Islam dilakukan melalui akad baiat dari rakyat kepada penguasa. Dalam demokrasi, penguasa “bekerja” kepada rakyat sehingga diberi gaji. Sedangkan dalam Islam, penguasa “mewakili” rakyat mengimplementasikan hukum syara’, dan kepadanya tidak diberi gaji melainkan tunjangan untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarganya secara makruf; sebab penguasa tersebut telah memberikan seluruh waktunya untuk mengurus rakyat.