Oleh: Nur Rakhmad, SH. (LBH Pelita Umat Korwil Jatim)
HTI dirundung musibah, dituduh tidak berkontribusi positif bagi NKRI. Bila kita cermati, gerakan dakwah ini fokus mendakwahkan Islam secara kaffah. Orientasi dakwah Hizbut Tahrir itu solutif dan bersifat global. Namun mengapa mendapat perlakukan tidak adil? Sampai diduga pro Hizbut Tahrir Indonesia, Guru Besar Universitas Diponegoro Prof Dr Suteki dinonaktifkan dari tugasnya termasuk tugas sebagai Ketua Program Studi (Prodi) Magister Ilmu Hukum (MIH).
“Benarkah hanya bicara tentang khilafah kemudian disimpulkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang penyebar faham radikalisme? Katanya ini negara demokrasi? Masih adakah ruang untuk diskusi—di manapun , baik di dalam maupun di luar kampus— agar persepsi saling dipahami sehingga tidak berakhir dengan persekusi layaknya yang saya alami ini?” ujarnya dalam akun Facebook Suteki, Sh, Mhum, Dr, Kamis (7/6/2018).
Bisa jadi, agenda HTI tidak pernah sejalan dengan agenda penjajahan Barat. Bruno de Cordier dari the University of Ghent di Belgia pada tanggal 16/3/2011 dalam tulisannya yang berjudul “Explaining the Persistence of Hizb Ut-Tahrir”, menjelaskan tentang alasan hingga sikap Hizbut Tahrir yang berusaha menciptakan kemarahan yang sesungguhnya, serta kemauan yang tinggi pada diri umat, bahwa apa yang dilakukan Hizbut Tahrir ini tidak lain adalah jawaban-jawaban yang sesungguhnya atas berbagai masalah ekonomi, politik dan sosial yang ada di dunia. Bahkan, ia menilai solusi yang ditawarkan Hizbut Tahrir ini sebagai solusi terbaik dari solusi terbaik yang ditawarkan oleh berbagai organisasi Hak Asasi Manusia sekuler.”
Moeflich Hasbullah, seorang Dosen UIN Sunan Gunung Jati, Bandung pernah menulis, Dakwah HTI yang bercitra kelas menengah dan tak berwajah radikal, lebih bisa menerima kekalahan ketimbang bila pemerintah yang kalah. Bukan pemerintahnya yang ganas, tapi kelompok anti HTI-Khilafah mungkin akan beringas lebih menyerang HTI.
Bila kelompok-kelompok sekuler kecewa secara politik bisa menghalalkan segala cara utk mengekspresikan kekesalannya, pendukung HTI setelah dikalahkan dalam pengadilan malah sujud syukur, pemandangan yang jarang ditemukan yang memberikan rasa sejuk dan damai. Sedamai aksi kolosal jutaan umat yang tergabung dalam aksi 212 yang damai, aman, tertib dan bersih. Berbeda dengan tandingan-tandingan kecilnya yang menyembako dan menyampah. Citra berkelas dan tak memilih kekerasan itu tampaknya memang sudah menjadi wajah dan kesadaran para tokoh dan aktifis HTI. Ketika dibubarkan pun, HTI bukan kemudian menggalang demo besar2an tapi langsung mengambil jalur hukum. Menggugat ke pengadilan.
Pandangan HTI = Ulama Mu’tabar
Pandangan HTI terkait ajaran Islam, khilafah juga tidak selaras dengan pandangan para ulama mu’tabirin. Misal madzhab Syafi’i yang merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang wajibnya imamah atau khilafah. Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata :
“…pasal kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya. Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu kifayah”.
Penulis kitab Tuhfatul Muhtaj fii Syarhil Minhaj menyatakan:
“…(Pasal ) tentang syarat-syarat imam yang agung (khalifah) serta penjelasan metode-metode (pengangkatan) imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan”.
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata:
“…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar, melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”. Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah. Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar (berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian (Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …”
Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi’i, menjelaskan firman-Nya Ta’ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan:
“… para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula…”
Walhasil, jika kita rangkum penjelasan para ulama’ diatas, fardhu kifayah itu meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh jumlah yang memiliki “kifayah”. Itu pertama.
Berikutnya, kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga, bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan oleh yang tidak diwajibkan.
Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para ulama’ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
Terkait Kriminalisasi
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyatakan khilafah tercatat dalam sejarah. Betapa gemilangnya para khilafah dalam memakmurkan rakyatnya dan menerapkan hukum secara adil dan bijaksana. Khilafah ada dalam Alquran dan hadis dan tercatat dalam sejarah.
Di samping ajaran Islam, juga hanya dengan Khilafah seluruh ajaran Islam dapat diterapkan dalam kehidupan. Tak sekadar fardhu, Khilafah taj al-furudh (mahkota kewajiban). Sebab, hanya dengan Khilafah semua kewajiban syariah dapat terlaksana di dunia. Lalu apa yang membuat sebagian orang menolak Khilafah? Apa yang ditakutkan dari Khilafah? Apa kesalahan Khilafah hingga dianggap ancaman yang membahayakan?
Apakah rakyat Indonesia yang sebagian besar kesulitan ekonomi disebabkan oleh Khilafah? Apakah utang LN yang semakin menggunung dan amat memberatkan APBN karena Khilafah? Apakah Khilafah yang membuat kekayaan alam yang melimpah ruah dan berbagai aset berharga negeri ini dikuasai asing dan aseng?
Demikian pula, kenakalan remaja yang semakin mengkhawatirkan, narkoba yang kian marak, dan kriminalitas yang semakin meningkat disebabkan oleh Khilafah? Juga korupsi yang tak bisa diberantas, bahkan semakin menggurita akibat Khilafah? Timor Timur yang lepas, apakah Khilafah adalah penyebabnya? Demikian juga, munculnya gerakan sparatis OPM apakah karena Khilafah? Siapa pun yang jujur dan sportif akan menjawab tegas: Tidak. Khilafah sama sekali tidak turut andil dalam semua problema di atas. Lantas, mengapa Khilafah yang dipersalahkan dan dianggap sebagai ancaman?[]