(Tanggapan atas rencana pelarangan khutbah dengna tema khilafah oleh aparat)
Oleh : M. Fathur Rahman Amin (Direktur el-Harokah Research Center)
Polri akan tetap memantau kegiatan anggota-anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setelah dibubarkan pemerintah. “Kita kan lihat nanti perkembangannya. Secara organisasi sudah dibubarkan., nanti person-personnya, pengurus-pengurusnya akan kita lihat,” kata kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto di gedung Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (19/7/2017). Setyo menegaskan Polri akan melakukan proses hukum bila masih ada anggota HTI yang menyampaikan khotbah dengan tema khilafah. “Ya, bisa ditindak (jika masih berpidato tentang khilafah). Nanti kalau masih ada yang masih memaksakan ngomong bahwa itu (khilafah), kita bisa proses. Sesuai dengan klausul pidananya, kita akan lihat,” ujar dia (http://m.detik.com/news/berita/3566024/polri-tetap-pantau-pergerakan-hti-pasca-dibubarkan).
Tentu saja kebijakan “tidak etis” tersebut patut dipertanyakan oleh semua pihak. Pasalnya apanya yang salah dengan “Khilafah” bagi negeri ini. Padahal jika kita mau objektif “Khilafah” merupakan bagian dari ajaran Islam, yang memang diturunkan oleh Allah SWT untuk kebaikan seluruh umat manusia. Di samping itu, ide khilafah mempunyai pijakan kuat dari aspek teologis, empiris, maupun historis. Dari Aspek teologis, jelas ide Khilafah bisa dirujuk dalam al-Qur’an, al-Hadist, dan ijma’ shahabat, serta khasanah kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama’ yang tidak terhitung jumlahnya. Secara empiris, ide Khilafah sangat relevan dengan kondisi saat ini, di saat umat Islam terpinggirkan oleh hegemoni negara-negara imperialisme Barat, maka ide khilafah sangat relevan untuk menyatukan potensi umat Islam di seluruh dunia, dalam rangka menjawab tantangan jaman tersebut. Dan secara historis, khilafah bukan sekedar ide tetapi merupakan institusi negara super power yang eksis di percaturan politik dunia selama lebih dari tiga belas abad. Bahkan menurut banyak sejarawan bahwa Barat sangat berhutang jasa dalam kemajuan peradaban kepada negara khilafah. Sebut saja Montgomery Watt dalam bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1994) menyatakan, “Peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri, tanpa dukungan peradaban Islam (Khilafah) yang menjadi motornya, kondisi Barat tidak akan ada artinya”.
Oleh karena itu, Pemerintah ini harus berpikir ulang dengan kebijakan melarang khutbah yang bertema “Khilafah”. Itu merupakan kebijakan yang tidak bijaksana. Kalaulah HTI sering menyuarakan gagasan Khilafah, tentu tidak bisa dikatakan gagasan Khilafah itu milik HTI. Karena sesungguhnya gagasan Khilafah itu adalah bagian dari ajaran Islam, yang tidak bisa diklaim milik elemen Islam tertentu. Dan pastinya yang membahas gagasan khilafah saat khutbah juga tidak bisa dituduh dengan serampangan sebagai “kroni HTI”. Jika Pemerintah tetap ngotot akan memperkarakan khatib yang berpihak kepada “Khilafah”, artinya itu sama dengan pemerintah akan mengkriminalkan ajaran Islam. Dan pastinya umat Islam wajib marah dan menentang kebijakan “arogan” itu. Lalu bagaimana sikap umat Islam yang tepat terhadap hal itu?. Tentu semua elemen Islam harus bersatu padu menolak kebijakan “anti Islam” tersebut. Mari kita ingat sikap para shahabat, suatu ketika ada seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah kita akan diadzab Allah SWT sedangkan di antara kita banyak orang yang shaleh?” Rasulullah SAW menjawab, “Ya, jika banyak kefasikan dan kemungkaran, tapi tiada seorang pun yang melarangnya” (HR. Muslim). Untuk itu, semua umat Islam harus mencegah kedzaliman rezim saat ini terhadap kemuliaan ajaran Islam.
Dalam lintasan sejarah, semua rezim yang represif terhadap kebenaran Islam, tidak akan bisa berjaya. Lihatlah Fir’aun, karena kesombongannya menentang Allah SWT dan agama-Nya, pada akhirnya segera terjungkal dari kekuasaan dan mati dengan mengenaskan di tengah laut merah. Ingatlah pula, Raja Namrut, yang menolak kebenaran agama tauhid yang disampaikan utusan-Nya, segera dilenyapkan Allah swt dengan diberi adzab dengan sakit yang sangat mengenaskan dan akhirnya terpental dari kekuasaan. Dan yang paling relevan, permusuhan Musthafal Kamal Attaturk terhadap Khilafah Ustmaniyah di Turki, bahkan dia telah melenyapkan eksistensi khilafah Islamiyah. Di akhir hayatnya dia dihinakan oleh Allah SWT dengan sakit yang sangat menjijikkan, dan akhirnya dia tewas dan terhempas dari kekuasaan. Harusnya rezim saat ini bisa mengambil pelajaran berharga dari peristiwa sejarah tersebut. Tiada gunanya memusuhi Islam dan ajarannya, yang justru akan membuat penyesalan bagi penentangnya dengan kehinaan di dunia dan penyesalan yang tiada ujung di akhirat kelak. Rezim saat ini harus bisa menahan diri, janganlah membenci dan memusuhi “Khilafah” secara membabi buta, yang akibatnya terjadi penolakan besar-besaran dari umat Islam yang mayoritas di negeri ini, dan jika itu terjadi maka merupakan preseden buruk atas segera runtuhnya kekuasaan mereka. Semoga itu bisa menjadi pertimbangan untuk membatalkan kebijakan akan mengkriminalkan khatib yang “pro khilafah”. Wallahu a’lam. []