Khilafah Adalah Pemelihara dan Penjaga Peradaban

Oleh: Achmad Fathoni (Direktur El Harokah Research Center)

Sesungguhnya, sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah, bukan yang lain. Inilah sistem pemerintahan yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW, yang telah menjadi ijma’ para sahabatnya ridhwanallah ‘alaihim, yang telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya. Khilafah tidak lain adalah Imamah. Khilafah dan Imamah ini maknanya sama.

Khilafah akan menjaga agama, kehormatan, jiwa dan harta benda; menjaga perbatasan; menghilangkan hambatan dan penghalang yang berusaha menghalangi sampainya risalah Islam, sehingga kalimat Allah dijunjung tinggi di muka bumi ini. Khilafah adalah metode praktis yang ditetapkan syariah untuk menegakkan hukum-hukum Islam dan menerapkannya di dalam negeri, serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Namun, semuanya itu tidak akan terwujud kecuali dengan menjadikan hak membuat hukum diserahkan kepada Allah semata, dan kedaulatan hanya di tangan syariah (Lihat: al-Maidah [5]: 49).

Kaum Muslim sejak masa Sahabat ridhwanullâh ‘alayhim telah menyadari betul akan besarnya peran dan fungsi Khilafah. Karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan sebelum jenazah beliau dikebumikan, mereka segera memilih seorang khalifah pengganti beliau. Mereka lebih mendahulukan aktivitas memilih khalifah ketimbang mengebumikan jenazah Rasulullah saw.

Kita semua tahu, Rasulullah saw. diutus dengan membawa agama Islam yang agung ini tidak untuk disambut hanya dengan lisan, melainkan juga untuk diterapkan kepada manusia di muka bumi ini. Untuk itu, diperlukan sebuah negara yang akan menegakkan semua ketentuannya, menerapkan semua hukumnya, berjihad dengan sungguh-sunguh demi mewujudkan semuanya, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia.

Semua ini jelas sekali dalam sirah Rasulullah saw. Beliau tak henti-hentinya meminta dukungan dan pertolongan kepada berbagai kabilah serta orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuatan hingga akhirnya Allah SWT menolongnya dengan dukungan dan pertolongan dari penduduk Madinah al-Munawwarah. Kemudian beliau hijrah dan mendirikan negara. Setelah itu, beliau melakukan pembebasan (futûhât) dan menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad.

Selanjutnya, apa yang beliau ajarkan dan contohkan terus dilaksanakan oleh para Khulafaur Rasyidun sesudahnya. Mereka berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh sampai ajal menjemputnya. Negara Khilafah itu pun terus berlanjut pada masa Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan Utsmaniyah hingga akhirnya kaum kafir penjajah yang dipimpin Inggris ketika itu dengan bantuan para pengkhianat bangsa Arab dan Turki berhasil melenyapkan Khilafah. Lalu antek Inggris, sang penjahat, Mustafa Kemal mengumumkan berakhirnya Khilafah, mengisolasi Khalifah dan mengusirnya. Itu semua terjadi 88 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M.

Sejarah membuktikan, Khilafah adalah pemelihara dan penjaga. Adakah orang yang tidak tahu akan kondisi bangsa Arab sebelum dan setelah datangnya Islam? Bahkan keadaan komunitas kaum Muslim sebelum dan setelah berdirinya Daulah Islam di Madinah al-Munawwarah? Ataukah memang dia tidak mengetahui perubahan yang begitu menakjubkan itu; tentang penaklukkan dunia di segala penjuru, tegaknya keadilan, dan penyebaran hidayah dan cahaya ke seluruh penjuru dunia? Begitu pula dengan sambutan masyarakat yang berbondong-bondong terhadap agama Islam ini; atau kemuliaan dan keagunggan yang telah diraih oleh umat Islam dalam berbagai bidang, mulai dari perundang-undangan, pemikiran, ilmu pengetahuan, perekonomian, militer, seni dan administrasi!

Khalifah benar-benar menjadi pemelihara bagi kaum Muslim. Khalifah belum merasa tenang hatinya, dan belum merasa sejahtera selama di tengah-tengah kaum Muslim masih ada kezaliman dan kemiskinan. Khalifah adalah penjaga bagi wilayah Islam dan kaum Muslim dari setiap serangan musuh. Khalifah mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad dengan tetap menjaga kemuliaan, keadilan dan kebaikan.

Kaum Muslim di bawah naungan Khilafah benar-benar bisa merasakan kehidupan yang mulia dan terhormat. Mereka diselimuti perasaan aman dan nyaman serta diwarnai kewajaran dan keadilan. Semuanya merasa hidup makmur dan sejahtera. Bahkan pernah ada suatu masa saat tidak ada lagi yang mau mengambil zakat, karena semua merasa telah kaya.

Al-Faruq, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., berkata, “Sekiranya ada seekor domba yang terperosok di tepi sungai Dajlah, niscaya saya yakin bahwa Allah pasti akan menghisabku akan hal itu pada Hari Kiamat. Jadi, mengapa kamu belum juga meratakan jalan itu untuknya?”

Beliau berkata pula, “Demi Allah, aku tidak akan merasakan kenyang, sebelum seorang Muslim yang terakhir di Madinah merasa kenyang!”

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, menulis surat kepada amilnya (kepala daerah) di Samarkand, Sulaiman bin Abi as-Samri: “Hendaklah kamu membangun beberapa penginapan di wilayahmu. Jika ada di antara kaum Muslim yang melewati wilayahmu maka biarkan mereka tinggal sehari semalam dan uruslah kendaraannya. Jika ia masih punya alasan untuk tinggal maka biarkan ia tinggal sehari dua malam. Jika ada seseorang yang kehabisan bekal maka berilah ia harta yang cukup untuk sampai ke daerah tempat tinggalnya.”

Bukankah ini sebuah bentuk pengurusan yang sesungguhnya? Apakah mungkin itu terjadi tanpa Khalifah yang memiliki kekuasaan untuk menerapkan Islam?

Khilafah senantiasa menjaga wilayah Islam dan kaum Muslim. Apakah kaum Muslim lupa dengan kisah Khalifah al-Mu’tashim Billah, ketika seorang Muslimah yang dizalimi oleh seorang Romawi meminta pertolongannya, “Wahai Mu’tashim, di manakah Engkau!”

Berita itu sampai kepadanya pada malam hari. Beliau tidak menunggu hingga pagi. Beliau segera berangkat memimpin sendiri pasukannya. Sesampainya di Amuria, beliau meminta agar orang Romawi pelaku kezaliman itu diserahkan untuk di-qishash. Saat penguasa Romawi menolaknya, beliau pun menyerang kota, menghancurkan benteng pertahanannya, dan menerobos pintu-pintunya dan tampil sebagai pemenangnya.

Apakah kaum Muslim lupa dengan sikap Harun ar-Rasyid terhadap Nakfur Raja Romawi yang telah merusak perjanjian yang diadakan dengan kaum Muslim dan sikap permusuhannya terhadap kaum Muslim. Ar-Rasyid mengirim surat kepada Nakfur, yang isinya: “Dari Harun, Amirul Mukminin kepada Nakfur, anjing Romawi. Jawaban atas sikap permusuhanmu adalah apa yang akan kamu lihat, bukan apa yang akan kamu dengar.”

Nakfur pun benar-benar bisa melihat tentara kaum Muslim, ketika mereka masih di perbatasan Romawi, sebelum surat ar-Rasyid sampai kepadanya.

Khilafah juga mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad demi kemuliaan, keadilan dan kebaikan. Lihatlah berbagai pembebasan yang telah menyebarluaskan Islam dan membersihkan semua bentuk kezaliman yang terjadi di berbagai penjuru dunia sejak masa Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin sesudah beliau dan para Khalifah sesudahnya. Semuanya itu merupakan mencusuar kebaikan di dunia. Hanya dalam satu abad saja Islam telah tersebar luas dan kekuasaan Islam meliputi negeri-negeri Arab, Syam, Irak, Mesir, Afrika Utara, Andalusia, Bukhara dan Samarkand, Sind, India, dan wilayah barat laut India (Pakistan bagian Barat). Islam terus menyebar hingga sampai di Asia Tenggara dan menyinari Indonesia. Selanjutnya, berbagai penaklukkan meluas hingga ke Asia Kecil, menaklukkan Konstantinopel dan Balkan; serta banyak lagi wilayah di muka bumi ini. Kumandang azan pun membelah di seluruh penjuru bumi dan bumi pun disinari cahaya Khilafah.

Khilafah benar-benar menyandang kebesaran dan keagungan. Di antara contohnya, salah seorang Raja Prancis berada dalam kekuasaan musuhnya sebagai tawanan. Rakyat Prancis lalu meminta bantuan kepada Sultan. Sultan mengabulkan permintaan itu dan membebaskan Raja Prancis itu.

Amerika pernah mengadakan perjanjian pada tanggal 21 Shafar 1210 H/5 September 1785 M dengan Daulah Khilafah untuk mendapatkan jaminan keamanan di Laut Mediterania. Untuk itu, Amerika harus membayar 642 dolar emas dan setiap tahunnya membayar 12.000 lira emas Utsmani. Bahkan perjanjian ini dianggap sebagai satu-satunya perjanjian sepanjang sejarah Amerika, yang dilakukan bukan dengan bahasanya. Ini merupakan bukti kebesaran dan kewibawaan yang dinikmati kaum Muslim selama mereka berada di bawah naungan Khilafah.

Khilafah juga menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan gudang para ulama dan ilmuwan. Ketika itu kaum Muslim menjadi umat yang pertama dan pendahulu dalam bidang fisika, kimia, matematika, dan astronomi. Negeri-negeri kaum Muslim menjadi pusat ilmu pengetahuan sehingga banyak pelajar berdatangan dari negar-negara Barat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan di Baghdad dan Andalusia.

George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia, pernah menulis surat kepada Amirul Mukminin, Khalifah Hisyam III, di Andalusia Spanyol agar menerima utusan anak-anak bangsawan Inggris yang dipimpin oleh putri saudaranya guna menuntut ilmu di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negeri-negeri Islam. Surat itu diabadikan di dalam buku, Bangsa Arab: Faktor Hegemonik pada Abad Pertengahan, karya John Danport.

Semua keagungan itu tetap ada dan terpelihara eksistensinya hingga lenyapnya Khilafah pada hari yang menyakitkan, yaitu 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M, sebagaimana yang kita peringati. Sejak saat itulah, umat Islam yang dulunya hebat dan kuat, kini menjadi santapan lezat yang menjadi rebutan berbagai umat, persis yang digambarkan di dalam sabda Rasul saw.

Begitu jelas perbedaan kondisi kita ketika pada masa Khilafah dan ketika lenyapnya Khilafah. Tidakkah semua itu bisa mendorong kita untuk bersungguh-sungguh dan tetap bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mengembalikan Khilafah, yang tidak lain adalah kewajiban di atas kewajiban yang manapun. Kemudian dengan kembalinya Khilafah akan membangkitkan kembali kebesaran demi kebesaran Islam dan kaum Muslim?[]

Share artikel ini: