Khilafah Adalah Ajaran Islam

 Khilafah Adalah Ajaran Islam

Pengantar: ‘Khilafah’ sedang diadili di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Namun saksi ahli yang dihadirkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia Dr Daud Rasyid MA menjelaskan secara gamblang nash-nash tentang khilafah, kewajiban mengadakan dan menegakkannya. Fokus menyajikan untuk Anda.

 

Istilah khilafah dan khalifah, bukanlah istilah yang asing di kalangan ulama kaum Muslim, dan kaum Muslim di sepanjang zaman. Kecuali, orang yang jahil tentang Islam.

Khilafah adalah isim syar’i [istilah syariah]. Artinya, khilafah ini bukan istilah buatan manusia, karena istilah ini pertama kali digunakan dalam nash syariah dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Sebagaimana kata Shalat, Hajj, Zakat, dan sebagainya. [Lihat, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz I/27-28]

Istilah Khilafah, dengan konotasi syara’ ini digunakan dalam hadits Nabi SAW sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal:

“Ada era kenabian di antara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah, jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu, akan ada era khilafah yang mengikuti Manhaj Kenabian.” [HR Ahmad]

Ini juga bukan merupakan satu-satunya riwayat, karena masih banyak riwayat lain, yang menggunakan kata ‘khilafah’, dengan konotasi syara’ seperti ini. Lihat, Musnad al-Bazzar, hadits no 1282. Musnad Ahmad, hadits no 2091 dan 20913. Sunan Abu Dawud, hadits no 4028. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2152. Al-Mustadrak, hadits no. 4438.

Adapun pemangkunya disebut khalifah, jamaknya, khulafa’. Ini juga disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah SAW. Antara lain dalam hadits Abu Hurairah ra:

“Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim]

Tidak hanya di dalam hadits ini, tetapi juga banyak hadits lain yang menggunakan istilah khalifah [jamaknya, khulafa’]. Lihat, Shahih Bukhari, hadits no. 6682. Shahih Muslim, hadits no. 3393, 3394, 3395, 3396, 3397 dan 3398. Sunan Abu Dawud, hadits no. 3731 dan 3732. Musnad Ahmad, hadits no. 3394, 19901, 19907, 19943, 19963, 19987, 19997, 20019, 20032, 20041, , 20054, 20103 dan 20137. Sunan at-Tirmidzi, hadits no. 2149 dan 4194.

Karena itu, istilah khilafah dan khalifah, jamaknya khulafa’, adalah istilah syariah, yang memang digunakan dalam nash syariah, bersumber dari wahyu. Bukan buatan manusia, baik generasi sahabat, tabiin, atba’ tabiin maupun para ulama setelahnya. Istilah ini kemudian diadopsi para ulama ushuluddin [akidah], fikih dan tsaqafah Islam yang lainnya dengan konotasi sebagaimana yang dimaksud oleh hadits Nabi di atas.

Makna Khilafah dan Khalifah

Dalam Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, istilah khilafah ini didefinisikan dengan: “Menggantikan Nabi SAW dalam menjaga agama dan mengurus dunia, di antaranya seperti Abu Bakar, dan para Khulafa’ Rasyidin sepeninggalnya, dan yang lain seperti mereka, semoga Allah meridhai mereka, merupakan pengganti Nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [Majmu’ah Muallifin, Mu’jam Musthalahat al-‘Ulum as-Syar’iyyah, hal. 756]

Karena itu, istilah khilafah dan khalifah, jamaknya khulafa’ bukanlah istilah yang asing di kalangan ulama kaum Muslim, dan kaum Muslim di sepanjang zaman. Kecuali, orang yang jahil tentang Islam. Dalam kitab, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, karya Prof Dr Wahbah az-Zuhaili dinyatakan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” [Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, Juz IX/881].

Imam al-Mawardi [w. 450 H], dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, menyatakan, “Imamah [Khilafah] dibuat untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus dunia.” [al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah wa al-Wilayat ad-Diniyyah, hal. 3]. Sedangkan Ibn Khaldun [w. 808 H], menyatakan, “Menggantikan pemilik syariah [Nabi SAW] dalam menjaga agama, dan mengurus dunia dengannya.” [Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, hal. 98]

Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” [Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226]. Definisi ini adalah definisi yang sama, yang digunakan oleh al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam. [Lihat, an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, hal. 34]

Karena merupakan istilah syara’, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Bahkan, Nabi SAW tidak hanya menggunakan istilah ini dengan konotasi syariahnya, tetapi juga menambahkan dengan predikat, Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah [Khilafah yang mengikuti metode kenabian], yang berarti khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang dijalankan oleh para sahabat itu merupakan copy paste dari Nabi SAW. Mereka tinggal melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Nabi SAW.

Bahkan, Nabi SAW memerintahkan agar umatnya tidak hanya memegang teguh sunahnya, tetapi juga sunah para Khulafa’ Rasyidin. Nabi SAW bersabda:

“Kalian wajib berpegang teguh dengan sunahku dan sunah para Khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunah itu dengan gigi geraham.” [HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi]

Perintah untuk terikat dengan sunah [tuntunan] mereka adalah perintah untuk mempertahankan khilafah, sebagaimana yang diwariskan oleh Nabi SAW dan menegakkannya kembali, jika ia tidak ada.

Hukum Khilafah dan Menegakkannya

Semua ulama kaum Muslim sepanjang zaman sepakat, bahwa adanya khilafah ini adalah wajib. Jika khilafah tidak ada, hukum menegakkannya bagi seluruh kaum Muslim adalah wajib. Dasar kewajibannya tidak didasarkan pada akal atau kesepakatan manusia, tetapi wahyu. Berkaitan dengan ini, Imam as-Syafii menyatakan:

Seseorang tidak boleh menyatakan selama-lamanya suatu perkara itu halal dan haram kecuali didasarkan pada ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah informasi dari al-Kitab (Alquran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak atau Qiyas.” [Lihat, Asy-Syafii, Ar-Risâlah, hlm. 39].

Senada dengan itu, Imam al-Ghazali juga menyatakan:

Keseluruhan dalil-dalil syariah merujuk pada ragam ungkapan yang tercantum dalam al-Kitab (al-Quran), as-Sunnah (al-Hadis), Ijmak dan Istinbâth (Qiyas).” [Lihat, Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, Juz II/273].

Karena itulah, para ulama kaum Muslim sepakat mengenai kewajiban adanya khilafah, dan kewajiban untuk menegakkannya, ketika ia tidak ada. Dasarnya adalah wahyu, yaitu Alquran dan as-Sunnah, dan apa yang ditunjukkan oleh keduanya, baik berupa Ijmak Sahabat maupun Qiyas. []

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *