Khalifah Abdul Hamid II Akhiri Reformasi Kebarat-baratan

Mediaumat.id – Di dalam upaya mengembalikan kemuliaan, kehormatan, kekuatan Islam dan kebanggaan umat Islam terhadap agamanya, Khalifah Abdul Hamid II mengakhiri reformasi kebarat-baratan para khalifah sebelumnya. “Khalifah Abdul Hamid II mengakhiri reformasi kebarat-baratan yang dijalankan khalifah-khalifah sebelumnya,” ujar Akhmad Adiasta, narator film dokumenter sejarah Islam Jejak Khilafah di Nusantara 2 (JKDN 2) yang premier Rabu (20/10/2021).

Diketahui, lanjutnya, Istanbul yang juga merupakan ibu kota Khilafah saat itu, telah menjadi gravitasi politik Amirul Mu’minin dari Bani Utsmaniah, dan merupakan tempat yang menjadi sumber harapan akan ri’ayah dan ‘inayah para sultan dan Muslimin Nusantara, tentu setelah Allah dan Rasul-Nya.

Sehingga, setelah melewati era reformasi kebarat-baratan yang diinisiasi Khalifah Abdul Majid I, dibaiatlah seorang khalifah baru pada tahun 1876. “Dia adalah Khalifah Abdul Hamid II, seorang Khalifah Utsmaniah yang berusaha membangkitkan kembali ‘izzah Islam wal Muslimin,” jelasnya.

Berikutnya, Khalifah Abdul Hamid II menyadari bahwa untuk membangkitkan kembali kaum Muslim dari keterpecahan dan penjajahan Eropa, mereka harus kembali bersatu di bawah satu komando.

Merangkul Umat

Abdul Hamid II pun merangkul umat Islam dari berbagai bangsa, warna, dan bahasa, dalam satu naungan Daulah Khilafah. “Tak ayal, kebijakan tersebut membuat negara-negara Eropa yang menjajah wilayah berpenduduk Islam merinding ketakutan, termasuk di antaranya penjajah Belanda,” tandasnya.

Bahkan, Sejarawan sekaligus Pendiri Komunitas Literasi Islam Nur Fajaruddin menegaskan, dari dampak politik tersebut, Utsmani memberikan perhatian lebih terhadap kondisi kaum Muslim di wilayah Nusantara atau yang di masa itu ialah Hindia Belanda. Dan yang dilakukan oleh Utsmani waktu itu ialah dengan mendirikan konsulat di Batavia dan Singapura.

Fajar menambahkan, meski pendirian konsulat termasuk hal yang biasa untuk hukum internasional masa itu, namun di mata penjajah Inggris dan Belanda, pendirian Konsulat Utsmani di Batavia dan Singapura seperti buah simalakama.

Karena, sambung Fajar, di satu sisi sah secara hukum internasional, tetapi di sisi lain, Inggris dan Belanda tahu pasti pendirian Konsulat Utsmani tersebut menjadi tanda bahwa Utsmani menaruh perhatian besar kepada kaum Muslim di wilayah Nusantara atau Hindia Belanda yang waktu itu dalam kondisi terjajah oleh Inggris dan Belanda.

“Inilah yang kemudian membuat pemerintah kolonial waktu itu sangat mencurigai konsulat Utsmani sebagai tempat-tempat yang memprovokasi kaum Muslim atau rakyat bumiputra untuk melawan penjajah waktu itu,” pungkas Fajar.[] Zainul Krian

Share artikel ini: