KH Shiddiq al-Jawi: Umat Tak Perlu Rekontekstualisasi Fikih

Mediaumat.id – Berbicara rekontekstualisasi fikih yang akhir-akhir ini santer dihembuskan, termasuk oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas, Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi justru menegaskan, umat tidak perlu interpretasi seperti itu.

“Kita tidak memerlukan yang namanya rekontekstualisasi atau reaktualisasi atau istilah-istilah lain yang intinya justru ajaran Islam itu ditundukkan, disesuaikan dengan fakta,” ujarnya dalam Fokus: Menolak Ajaran Islam dengan Dalih Tidak Cocok, Layakkah? di kanal YouTube UIY Official Ahad (14/11/2021).

Malah, menurutnya, dikarenakan memang Islam berikut piranti hukumnya terjamin mampu mengatasi semua persoalan, maka yang diperlukan adalah mujtahid yang akan menggali hukum secara konkret untuk mengatasi berbagai persoalan.

Sebelumnya ia menyesalkan, secara kekinian, ada pihak yang telah menjadikan fakta sebagai standar kebenaran dari sebuah persoalan. Sehingga, secara tidak langsung menjadikan ajaran Islam tunduk serta menyesuaikan atas fakta yang terjadi di tengah kehidupan umat.

Misal, dengan alasan perempuan juga bekerja, maka dalam hal waris, oleh penggagas rekontekstualisasi, pembagiannya sama dengan laki-laki yang mendapatkan dua bagian. “Fakta ini dianggap sebagai standar, sebagai kebenaran yang kemudian ajaran Islam itu, itu tunduk kemudian menyesuaikan dengan fakta yang ada,” terangnya.

Padahal, banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk mengikuti ajaran Islam dengan tidak mengikuti yang lain termasuk fakta. Di antaranya surah al-Maidah ayat 48.

“Perintahnya adalah ‘Maka tegakkanlah hukum di antara mereka’. Dengan apa hukum itu kita tegakkan? Hukum itu, apa yang menjadi standarnya? Yaitu, ‘Apa-apa yang diturunkan oleh Allah’,” kutipnya.

“Itulah cara kita menerapkan hukum berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah,” imbuhnya.

Agar benar-benar tidak menyimpang, lanjut Shiddiq, maka terdapat pula larangan untuk tidak mengikuti hawa nafsu. “Jadi Islam itu sudah sedemikian rupa, ada perintah. ‘Ikutilah Allah, jangan mengikuti hawa nafsu mereka’,” tandasnya.

Metode

Lebih jauh terkait fakta, kata Shiddiq, di dalam kitab an-Nidzam al-Islam karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, dijelaskan bahwa Islam memiliki satu metode untuk memberikan solusi terhadap fakta atau persoalan yang ada. “Walaupun itu modern sekalipun,” timpalnya.

Pertama, Islam menyeru kepada seorang mujtahid untuk mengkaji ilmu terkait fakta yang ada. “Kalau kita tidak paham faktanya itu, maka hukum yang akan kita terapkan atau aturan Islam yang akan kita terapkan bisa salah,” tuturnya.

Meski fakta sangat penting untuk dikaji, namun kata Shiddiq, fungsinya bukan menjadi norma atau sumber hukum. Tetapi sebagai sasaran penerapan hukum.

Bahkan, untuk bisa memahami hukum secara objektif, sebagaimana juga diterangkan dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah dengan penulis yang sama, seorang mujtahid boleh bertanya kepada ahli non-Muslim sekalipun.

“Tentang cryptocurrency (mata uang kripto), dia mengerti apa itu yang namanya block chain, dia mengerti apa itu proses penambangan uang cryptocurrency itu, ya kita boleh bertanya kepada mereka,” ujarnya mencontohkan.

Lantas yang kedua, seorang mujtahid mengkaji nash-nash syariah, baik Al-Qur’an maupun hadits, yang berkaitan dengan fakta dimaksud. Setelah itu, baru mengistimbatkan hukum syara’ dari nash (bukan fakta) sebagai bentuk solusi dari sebuah persoalan. “Itulah proses ijtihad,” jelasnya.

Sehingga, tegas Shiddiq sekali lagi, yang diperlukan umat saat ini hanyalah seseorang yang mampu menggali hukum secara konkret untuk mengatasi persoalan (fakta) yang bisa dipastikan selalu ada. “Al-Qur’an itu ada petunjuk mengenai bagaimana jalan keluar. Petunjuk untuk mengatasi persoalan baru. Pasti ada,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: