KH Shiddiq al-Jawi Tegaskan Suap dan Gratifikasi Haram dan Terlaknat

 KH Shiddiq al-Jawi Tegaskan Suap dan Gratifikasi Haram dan Terlaknat

Mediaumat.id – Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, perbuatan suap ataupun gratifikasi, keduanya sama-sama haram dan terlaknat.

“Hukumnya ini sama-sama haram, sama-sama merupakan suatu dosa dalam Islam yang bahkan ini merupakan kabair, istilahnya itu dosa besar, bukan dosa kecil tapi dosa besar yang mendatangkan laknat atau kutukan dari Allah SWT,” ujarnya dalam Kajian Fikih Islam: Hukum Suap & Gratifikasi kepada Penguasa, Jumat (21/01/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Demikian ia terangkan terkait perbuatan suap atau pun gratifikasi dengan melibatkan sederet kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) beberapa hari belakangan ini.

Bahkan kasus terbaru yang menjerat Bupati Langkat Terbit Rencana Peranginangin, diduga meminta fee pengerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten Langkat melalui adiknya, Iskandar Peranginangin yang menjadi Kepala Desa Bali Kasih dengan nilai persentase 15% dari nilai proyek untuk paket pekerjaan melalui tahapan lelang dan nilai persentase 16,5% dari nilai proyek untuk paket penunjukkan langsung.

Disebut suap, ucap Shiddiq menjelaskan, karena pemilik kewenangan (shahibus shalahiyah), dari level kecamatan hingga jabatan tertinggi sebuah negara, menerima harta di luar dari hak yang seharusnya dibayarkan kepadanya berupa gaji atau upah.

“Ketika ada harta ini dibayarkan padahal sebenarnya tidak ada keharusan sama sekali membayar, maka ini disebut dengan suap,” terangnya sebagaimana telah diduga dilakukan Bupati Langkat tersebut.

Lebih lanjut Shiddiq mengatakan, banyak hadits yang mengharamkan suap menyuap. Pertama, dari Sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Amr yang artinya, ‘Rasulullah SAW bersabda, laknat Allah atas setiap-tiap orang yang menyuap dan setiap orang yang disuap’.

“Tidak hanya haram, ketika ada kata laknat yang ditujukan untuk suatu perbuatan, ini adalah suatu ciri perbuatan itu termasuk kabair (dosa besar),” tegasnya memaknai hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah tersebut.

Bahkan menurut Imam adz-Dzahabi di dalam kitab Al-Kabair menjelaskan ciri-ciri perbuatan yang termasuk dosa besar salah satunya mendapat laknat atau kutukan dari Allah SWT maupun Rasul-Nya.

Pengertian Laknat

“Pengertian laknat, mungkin sedikit saya jelaskan, yang disebut laknat itu adalah dijauhkan dari rahmat Allah,” ucapnya sembari menukil hadits, bahwa Allah SWT hanya menurunkan satu kepada seluruh makhluk di dunia, di antara 100 rahmat, yang 99 ditahan dan akan diberikan kepada penghuni surga.

Maka, kata Shiddiq, salah satu wujud seseorang yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya, hatinya mengeras. Bahkan ketika menjadi penguasa, akan sangat berpotensi tega membunuh rakyatnya sendiri.

Apalagi yang dibunuh adalah ulama atau aktivis dakwah Islam. “Itu pemimpin yang terkutuk, pemimpin yang terlaknat. Dia dijauhkan oleh Allah dari rasa kasih sayang. Rasa belas kasih kepada sesama orang Islam dicabut,” urainya.

Sementara, bentuk rahmat yang ia maksud, telah dijelaskan di dalam hadits Nabi SAW yang mengatakan, termasuk seekor induk kuda yang seakan berhati-hati ketika melangkah ketika di sampingnya terdapat anak kuda dimaksud.

Begitu juga ketika diterangkan di dalam sebuah hadits lainnya, ada seorang laki-laki yang memiliki lima anak dan tidak pernah diciumnya. Ketika melihat Rasulullah mencium Hasan dan Husein, laki-laki itu heran dan bertanya mengapa beliau mencium kedua cucunya. “Rasul mengatakan itulah rahmat Allah yang diberikan kepada aku,” jelas Shiddiq.

Sehingga terkait laknat Allah SWT atas penyuap dan yang disuap, Rasulullah SAW juga melaknat keduanya. Bahkan dijelaskan dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dari Sahabat Tsauban yang mengatakan, tidak hanya keduanya, tetapi yang menjadi perantara di antaranya pun dilaknat.

“Mereka yang menjadi perantara, jangan mengatakan, loh saya enggak berdosa karena saya hanya mengantarkan amplop dari pejabat a kepada si b atau dari b kepada c, saya enggak mengambil apa-apa dan enggak mau dapat duit, itu tidak bisa (haram),” ucapnya memisalkan.

Tak Ada Pengecualian

“Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani dan juga menurut Imam Syaukani itu sama, bahwa yang namanya suap itu tidak ada perkecualian. semua bentuk suap itu haram baik besar atau kecil, baik yang menyuap maupun yang disuap itu sama-sama berdosa,” terangnya.

Kalaupun ada sebagian ulama yang membolehkan suap sebagai pengecualian karena sekadar untuk mendapatkan hak sebagaimana ketika Rasulullah memberikan harta kepada salah seorang yang terus meminta, kata Shiddiq itu sebenarnya tidak dalam konteks suap.

Hadits dimaksud adalah, “Sesungguhnya salah seorang dari mereka ada yang meminta-minta harta kepadaku, kemudian aku memberinya. Lalu dia keluar dengan mengapit harta itu di bawah ketiaknya, padahal harta itu tidak lain akan menjadi api neraka baginya” (HR Ahmad).

“Nabi mengatakan, sesungguhnya mereka tidak menginginkan kecuali meminta kepadaku. Sedangkan Allah tidak menginginkan aku bersifat bakhil,” jelas Shiddiq mengutip hadits riwayat Imam Ahmad nomor 10.739 yang merupakan jawaban ketika ditanya Umar perihal Rasulullah yang tetap memberi mereka.

Hal tidak ada pengecualian yang demikian, lanjut Shiddiq, dipertegas dengan kaidah ushuliyah atau kaidah dalam ilmu ushul fiqih yang dirumuskan Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah, juz 3 halaman 242, yang berbunyi,

‘Keumuman lafal, suatu ayat atau hadits dalam sebab yang khusus, itu adalah umum tapi umum dalam topiknya.’

Apalagi di dalam faktanya, posisi sosial dari peminta ketika itu tidak lebih tinggi daripada Rasulullah SAW. “Tidak bisa topik tentang meminta-minta ini dibawa kepada topik suap-menyuap,” tandasnya.

Sementara, dalil berikutnya yang dijadikan sandaran pengecualian suap adalah pendapat atau ijtihad Ibnu Mas’ud, seorang tabiin yang memang menurut Shiddiq, tidak bisa dijadikan sumber hukum selain Al-Qu’ran, As-Sunnah, Ijma’, Qiyas.

“Ketika Ibnu Mas’ud itu datang ke negeri Habasyah, dia membawa sesuatu. Lalu dia itu ditahan karena sesuatu itu. Tetapi ada orang-orang yang menahan dia. Lalu Ibnu Mas’ud memberikan uang 2 dinar sehingga beliau dibebaskan,” demikian keterangan di dalam Sunan al-Kubra juz 10 halaman 139.

“Ini bukan dalil syar’i yang kuat, bukan sumber hukum yang kuat atau yang muktabar istilah bahasa Arabnya,” tegas Shiddiq.

Gratifikasi

Terkait dengan gratifikasi atau pemberian hadiah, Shiddiq menegaskan keharamannya. Demikian sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan Imam Thabrani dengan status sanad hasan menurut Imam al-Haitsami dalam kitab Majma’u az-Zawaid, yang berbunyi, “Hadiah-hadiah kepada para pemimpin itu adalah harta khianat atau harta haram.”

Pun demikian dengan hadits lainnya yang artinya, ”Barangsiapa yang sudah kami angkat untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan, lalu dia sudah kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji, maka itu adalah harta khianat atau harta ghulul (penggelapan).” (HR Abu Dawud).

Selain itu, terdapat hadits ketiga terkait larangan gratifikasi. “Ada seseorang yang namanya Ibnu Lutbiyah yang ditugasi oleh Nabi memungut zakat di suatu suku yang namanya Bani Sulaim. Setelah memungut, dia pulang kepada Nabi, dia bilang begini, ‘Wahai Nabi ini zakat yang saya kumpulkan, saya serahkan kepada Anda. Yang ini hadiah dari masyarakat kepadaku’,” ucap Shiddiq mengisahkan.

Tak ayal, sambungnya, seketika Nabi SAW marah dengan mengatakan, “Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu, hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar” (Hadits shahih riwayat Imam Bukhari Nomor 6464).

Artinya, diberikannya hadiah itu sebenarnya karena posisi Ibnu Lutbiyah yang menjadi pejabat, bukan sebagai pribadi. “Maknanya begitu,” timpalnya.

Sehingga, berdasarkan hadits ketiga tersebut, kata Shiddiq terdapat pengecualian kebolehan gratifikasi yang menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, hanya kalau seseorang itu sebelum menjabat sudah punya hubungan baik dengan seseorang, maka seseorang itu boleh memberikan hadiah kepada pejabat itu, karena sebelum dia menjabat, dia sudah kenal atau punya hubungan baik.

Dengan demikian, Shiddiq mengajak sekaligus berharap kepada seluruh masyarakat agar senantiasa taat kepada Allah SWT. “Nampaknya edukasi kepada masyarakat, dakwah kepada masyarakat untuk senantiasa taat kepada Allah, jangan menyuap, jangan mau disuap, jangan melakukan gratifikasi karena ini adalah haram hukumnya, yang seperti ini nampaknya terus perlu kita gencarkan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *