KH Shiddiq al-Jawi Tegaskan Haram Muslim Ikut Rayakan Tahun Baru Masehi

Mediaumat.id – Berkenaan hukum kaum Muslim ikut merayakan pergantian tahun masehi, Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan keharamannya.

“Yang namanya merayakan tahun baru masehi ini hukumnya adalah haram. Tidak dibolehkan seorang Muslim itu ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi ini,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi, Jumat (31/12/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, setidaknya ada dua dalil keharamannya. Pertama, dalil umum yang mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir. Kedua, dalil khusus yang lebih spesifik mengharamkan kaum Muslim merayakan hari raya kaum kafir.

Tasyabbuh bi al kuffaar atau perilaku meniru perbuatan orang-orang kafir memang tidak dibolehkan. Tetapi hanya untuk perbuatan yang menjadi ciri khas mereka. “Perbuatan-perbuatan yang terkait dengan ajaran agama mereka atau pandangan hidup mereka yang menjadi ciri khas kekafiran mereka,” terangnya.

Sedangkan yang bersifat universal, semisal yang berkaitan dengan sains atau pun teknologi, umat Islam boleh menyerupai. “Jadi yang (dilarang) bersifat khas atau unik, bukan yang bersifat universal,” jelasnya.

Lantas terkait itu, ia juga menyampaikan sebuah Hadits Nabi SAW, dengan sanad hasan menurut Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari pada juz yang ke-10 halaman 271, yang artinya, ‘Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka’ (HR Ahmad, Abu Dawud).

Pun sebagai umat Islam, sebenarnya sudah memiliki sistem kalender sendiri yaitu hijriyah. “Kita umat Islam itu mempunyai kalender sendiri sebenarnya, yang menjadi patokan yang terkait dengan hukum-hukum Islam yang terkait dengan waktu,” ungkapnya.

Alasan yang kedua terkait dalil khusus yang mengharamkan, ia juga mengutip sebuah hadits dari Anas bin Malik yang artinya, ‘Dahulu kalian punya dua hari raya untuk bermain-main atau bersenang-senang pada dua hari itu. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik yaitu Idul Fitri dan Idul Adha’ (HR Imam Abu Dawud, nomor 1134).

Lantaran itu, Kiai Shiddiq kembali menekankan agar kaum Muslim tidak lagi merayakan hari raya agama lain. “Tahun baru itu juga bagian dari hari raya mereka. Karena antara Natal dan tahun baru itu selalu digabungkan menjadi satu tidak terpisah ketika mereka mengucapkan juga merry Christmas and happy new year,” imbuhnya.

Pengaruh Gereja

“Memang ini kalau kita telusuri satu hal yang menarik bahwa peresmian satu Januari sebagai tahun baru masehi itu tidak bisa lepas dari pengaruh Gereja Katolik,” ungkapnya.

Tepatnya, kata Kiai Shiddiq, pada tahun 1582 M, seorang Paus XII menetapkan awal tahun masehi pada satu Januari. Padahal, hal itu hanya pengulangan sejarah ketika hal yang sama juga dilakukan Julius Caesar pada tahun 46 SM.

Meski begitu, tetap saja awal tahun masehi merupakan bagian keputusan dari gereja, yang artinya, menurut Kiai Shiddiq, bisa juga dikatakan bahwa hari itu termasuk hari raya mereka. “Satu Januari itu resmi menjadi tahun baru itu, itu adalah dekrit atau keputusan dari gereja pada waktu itu,” ucapnya.

Lantas kemudian, dalam perayaan tersebut, seperti halnya keterangan dari Wikipedia, mereka melakukan bermacam-macam aktivitas. Bisa berupa ibadah, seperti layanan ibadah di gereja (church services), serta non ibadah semisal parade, karnaval maupun menikmati berbagai hiburan, olahraga atau sekadar kumpul-kumpul keluarga makan makanan tradisional, dan sebagainya.

Sehingga, betul saja kalau perayaan tahun baru termasuk satu paket dengan natal. “Kalau kita lihat memang akhirnya, perayaan tahun baru itu yang menjadi satu kesatuan dengan perayaan natal dan pasti bergabung atau senantiasa digabungkan dengan tahun baru,” tandasnya.

Namun di sisi lain, Kiai Shiddiq senantiasa berharap, dengan gencarnya dakwah Islam baik melalui teks, video maupun sarana-sarana lainnya, semakin baik pula pemahaman umat Islam terkait perbuatan menyerupai tersebut. “Mudah-mudahan lambat-laun ini (tasyabbuh bi al kuffaar) bisa terhapus dengan kembalinya pemahaman umat Islam itu pada pemahaman yang benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: