KH M. Shiddiq al-Jawi Kupas Kaitan Murtad dengan Sistem Pidana Islam

Mediaumat.id – Peristiwa murtadnya Sukmawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu ketika dirinya mengumumkan telah kembali ke agama Hindu, sempat menyita perhatian publik termasuk Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi yang mengaitkannya dengan sistem pidana dalam Islam.

“Yang kita bicarakan ini kalau dalam tinjauan fikih Islam ini disebut dengan fikih jinayah, fikih tentang pidana dalam Islam atau, disebut juga dengan istilah nidzamul ‘uqubat, sistem sanksi atau sistem pidana dalam Islam,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Hukum Murtad dalam Islam, Jumat (29/10/2021) di kanal YouTube KC Reborn.

Murtad, sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab fikih, adalah orang yang keluar dari agama Islam. Sedangkan perbuatannya disebut dengan riddah. Bahkan dari segi hukum taklifi, perbuatan riddah ditegaskan sangat jelas haram. Maka itu tidak ada ulama yang mengatakan murtad itu boleh.

Lebih lanjut, ia menerangkan, bahwa siapa saja yang murtad, baik laki-laki atau perempuan, baligh (sudah dewasa) dan berakal, maka ancaman sanksinya adalah hukuman mati. “Dalam Islam kalau orang itu murtad sebenarnya ada sanksi pidananya, namanya sanksi pidana had riddah yaitu hukuman mati,” jelasnya sembari menukil Hadits Nabi SAW, yang artinya:

‘Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah dia.’ [HR Imam al-Bukhari]

Memang, sanksi tersebut tidak diterapkan saat ini. Namun bukan berarti tidak wajib. Hanya saja, kewajiban ini memerlukan syarat yaitu adanya institusi yang menerapkan yakni negara Khilafah. “Statusnya tetap wajib. yang oleh karena itu kewajiban (had riddah) ini tidak sempurna tanpa Khilafah, maka Khilafah menjadi wajib kan?” tuturnya.

Lantas ketika sistem Islam diterapkan, tidak kemudian juga si murtad langsung dijatuhkan hukuman mati. Tetapi, usai divonis murtad oleh hakim dengan penyaksian dua orang sebelumnya, si murtad diminta bertobat dahulu untuk kembali masuk Islam hingga tiga hari, sebagaimana hadits diriwayatkan Umar bin Khattab di dalam kitab Nidzamul ‘Uqubat karya Syeikh Abdurrahman al-Maliki.

Namun tidak demikian di dalam sebuah riwayat lain. “Abu Musa al-Asy’ari, telah meminta orang yang murtad itu untuk bertobat seperti permintaan dari Mu’az bin Jabal kepadanya. Dia meminta Abu Musa, (agar si murtad) ini meminta tobat atau istitabah selama dua bulan,” ungkapnya.

Sehingga ia menyimpulkan, memang tidak harus tiga hari seperti riwayat dari Umar, tetapi bisa dua bulan atau waktu yang cukup untuk mengajak si murtad kembali masuk Islam.

“Kalau dia itu kemudian masuk Islam lagi, Alhamdulillah, ini tidak diapa-apakan. Tetapi kalau dia berkeras tidak mau masuk Islam lagi setelah diberi kesempatan setelah dijatuhkan vonis murtad oleh hakim dengan dua saksi, maka barulah dijatuhkan hukuman mati,” tegasnya.

Mengerikan?

Justru ia menganggap aneh kalau ada orang yang mengatakan hukuman mati biasa saja. “Yang namanya hukuman mati itu memang mengerikan. Tetapi persoalannya adalah apakah ketika mengerikan buat manusia, apakah itu salah apakah itu benar, itu adalah hal yang lain,” tandasnya.

Ia menjelaskan, kemampuan indera manusia bersifat terbatas, sebatas pengetahuan manusia saja. Sementara, hakikat sesuatu yang sebenarnya, hanya Allah SWT yang tahu, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 216 yang artinya:

‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu bagus bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah lebih mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.’

Bahkan ia menerangkan, di dalam hukuman pidana Islam, secara umum terdapat hikmah yang tidak bisa diketahui hanya dengan penginderaan secara empiris. “Hanya bisa kita percayai baik buruknya lewat wahyu,” tegasnya.

Pertama, jawabir untuk membebaskan dari azab akhirat. Kedua, jawazir agar masyarakat tidak melakukan hal serupa. “Ada efek jera yang akan tercipta di masyarakat karena ada sanksi pidana yang dijatuhkan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: