KH. Hafidz Abdurrahman: Pandangan Fikih Islam itu Jumud Tidak Tepat!
Mediaumat.id – Khadim Ma’had Syaraful Haramain KH. Hafidz Abdurrahman menilai pandangan fikih Islam itu jumud tidaklah tepat.
“Fikih Islam itu jumud sebenarnya tidak tepat, kejumudan itu sesungguhnya tidak bisa diarahkan kepada produk, tapi kejumudan itu adalah sifat yang sebenarnya melekat kepada manusianya bukan produk,” ungkapnya dalam Kajian Afkar Islam: Fikih Islam Jumud?, Senin (15/11/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Menurutnya, isu fikih itu jumud masih perlu dilakukan challenge. Pertama, siapa yang mengatakan fikih Islam itu jumud?, apakah yang mengatakan itu Ulama atau bukan. “Kalau yang mengatakan itu bukan Ulama, ya tentu kita tidak perlu menganggap, karena apa yang disampaikan itu bukan rangkaian dari hasil kajian,” ungkapnya.
Kedua, kalau yang mengatakan ulama, apakah dia sudah membaca khazanah fikih yang sekian banyak? Yang sedemikian berlimpah sehingga bisa mengatakan seolah olah fikih itu jumud.
“Kalaulah dia sudah membaca karya-karya tadi, maka pertanyaannya benarkah klaim kejumudan itu nyata atau itu merupakan bentuk ketidakmampuan di dalam menjangkau literasi?,” tuturnya.
“Ini masih harus diuji, harus dichallenge, sehingga kita sebagai umat Islam tidak boleh menelan mentah-mentah narasi seperti ini,” tambahnya.
Menurutnya, jika kita merujuk kepada kitab yang merupakan khazanah Ulama. Ia katakan bahwa jumlah kitab yang diterbitkan dan dicetak dengan jumlah kitab yang masih dalam bentuk manuskrip, lebih banyak kitab yang masih dalam bentuk manuskrip.
“Ketika ada yang mengatakan fikih itu jumud, maka kita mestinya bertanya apakah yang menyatakan seperti itu bisa membaca, menyelami dan melakukan eksplorasi terhadap khazanah yang sedemikian banyak tadi? (kurang lebih 12 juta kitab karya Ulama),” ungkapnya.
Karena itu, Kiyai Hafidz menilai, masalah utamanya ada pada keterbatasan kita dalam menjangkau literasi, sehingga ketika ada persoalan, persoalan tersebut tidak bisa kita pecahkan, karena kita tidak bisa membaca apa yang ada dalam kitab-kitab itu. Sehingga seolah-olah problem-problem yang ada tidak pernah dibahas.
“Bukan yang menjadi masalah itu khazanahnya tapi kemampuan kita untuk menjangkau literasi,” pungkasnya [] Ade Sunandar