Keuntungan PLN Tahun 2020 Sebesar 5,99 Triliun Hanya Pencitraan, Benarkah?
Mediaumat.id – Terkait sinyal yang diberikan pemerintah melalui beberapa pemberitaan bahwa tahun depan tarif listrik akan naik dengan alasan price contingency atau adjustment tariff, Koordinator Indonesia Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko menyimpulkan berarti keuntungan PLN 2020 tersebut hanya window dressing untuk pencitraan saja.
“Kalau benar tahun depan pemerintahan akan menaikkan tarip maka keuntungan PLN 2020 tersebut hanya window dressing untuk pencitraan saja. Guna menutupi bahwa sesungguhnya PLN sudah dikuasai oligarkhi peng-peng (penguasa-pengusaha) dengan memperalat asing/aseng!” ujarnya kepada Mediaumat.id, Ahad (12/12/2021)
Menurut Daryoko, pemerintah telah mengumumkan tahun 2020 PLN meraih untung Rp 5,99 triliun, memang menurut PP No 23/1994 Tentang PT.PLN (Persero), BUMN ini bertugas sebagai infrastruktur kelistrikan sekaligus mencari keuntungan. Namun ia mempertanyakan apakah keuntungan Rp 5,99 triliun masih kurang besar.
“Kalau dari aspek ekonomi untung Rp 5,99 triliun masih kurang, terus maunya untung berapa? Kalau dirasa masih kurang mengapa diberitakan secara besar-besaran bahwa PLN tahun 2020 untung sebesar itu?” ucapnya.
Padahal, kata Daryoko, sesuai UU No 19/2003 Tentang BUMN, PLN ini bertugas sebagai BUMN PSO (public service obligation) yang etatisme yang harus hadir di tengah masyarakat sebagai fungsi pelindung. Bahkan dalam Nawa Cita-nya Jokowi, mengisyaratkan PLN akan hadir di tengah rakyat dengan semangat etatisme.
“Jadi platform pemerintahan Jokowi ini pastinya seperti apa? Antara teori dan praktik kok enggak nyambung? Atau untung Rp 5,99 triliun sebenarnya window dressing untuk pencitraan saja?” ungkap Daryoko.
Daryoko menyebut, dalam pembahasan sidang MK terkait JR UU Ketenagalistrikan dengan para ahli di antaranya adalah Prof. David Hall dari Greenwich University/UK, Dr. Ichsanuddin Noorsy, Prof. Ir. Yanuarsah Harun/ITB, dan Dr. Syariffudin /ITS sampai pada kesimpulan bahwa di mana pun perusahaan listrik yang sudah mengalami privatisasi, maka tarif akan melesat naik antara 5-7 kali lipat dari tarif awal saat masih dikelola oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena efek unbundling vertikal.
Terakhir, Daryoko membeberkan, sebenarnya mulai tahun 2020 PLN di Jawa-Bali sudah sepenuhnya dikuasai asing hingga terjadi unbundling vertikal. Dan kenyataannya sudah terjadi mekanisme pasar bebas kelistrikan dengan pembentukan tarif listrik sudah di luar kontrol pemerintah, kecuali dengan subsidi listrik di sisi retail. Sehingga Kementerian Keuangan melalui siaran persnya menyampaikan bahwa PLN untuk tahun 2020 masih harus disubsidi Rp 200,8 triliun. Namun kabar itu disanggah oleh berita bahwa PLN masih untung Rp 5,99 triliun.
“Dengan demikian mulai terkuak kondisi sesungguhnya kalau kemudian akan menaikkan tarif listrik tahun depan,” pungkas Daryoko.[] Agung Sumartono