Mediaumat.id – Pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang mengizinkan keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendaftar dalam proses seleksi penerimaan prajurit TNI dinilai oleh Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. sebagai moderasi komunisme.
“Saya sudah banyak menulis artikel terkait dengan ketidaksetujuan saya yang saya sebut dengan moderasi komunisme. Suatu gerakan yang mencoba melunakkan radikalisasi dan revolusionernya komunisme,” tuturnya dalam acara FGD PKAD #47: PKI dan Underbownya, Antara Larangan dan Peluang, Sabtu (2/4/2022) melalui kanal YouTube Mimbartube.
Prof. Suteki menegaskan ada enam bagian moderasi untuk melunakkan radikalisasi komunisme tersebut.
Pertama, upaya pencabutan TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966. Yang itu dilakukan sejak Presiden Abdurrahman Wahid. Kedua, tidak menjadikan TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966 sebagai pertimbangan dalam pembentukan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) pada tahun 2020 lalu.
“Ketiga, penerbitan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) oleh Komnas HAM yang jumlahnya sudah ribuan terutama untuk orang-orang eks partai komunis,” jelasnya.
Keempat, adanya upaya rekonsiliasi PKI sebagai korban. Kelima, diperbolehkannya keturunan PKI menjadi anggota TNI sebagaimana yang baru saja menjadi kebijakan dari Panglima TNI Andika Perkasa.
“Keenam, kebijakan yang diputuskan oleh MK terkait hak untuk dipilih di dalam pemilu yang kemudian melahirkan beberapa legislator di DPR yang menjadi anggota DPR,” terangnya.
“Inilah 6 kebijakan publik yang saya tengarai sebagai sarana untuk moderasi komunisme yang radikal juga revolusioner,” tegasnya.
Mitos Equality
Prof. Suteki mengungkapkan, seringnya diserang dengan alasan pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945. Jadi segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Pasal 28 soal hak asasi manusia. Itu yang mereka jadikan sandaran agar memberi peluang pada keturunan PKI dengan alasan equality before the law (persamaan di depan hukum). “Padahal saya temukan dalam praktik equality before the law itu hanya mitos. Kebohongannya dibuktikan setiap hari,” ungkapnya.
Prof. Suteki juga mempertanyakan equality before the law sebenarnya untuk siapa? Kalau bagi mereka yang berkepentingan mereka memberikan alasan harus equal, tapi begitu lawan, nanti dulu.
“Jadi perlu kita cermati, betulkah negara demokrasi betul-betul menerapkan equality before the law? Kita lihat di Amerika Serikat mereka juga punya politik apartheid. Belanda waktu menjajah juga ada penggolongan penduduk, lalu sikap Amerika terhadap teroris,” ungkapnya.
Ia pun mempertanyakan kembali soal equality before the law dimaksud. “Karena kalau kita kaitkan, misalnya, dengan hak asasi manusia itu apakah betul kalau kita membatasi hak tertentu dikatakan melanggar hukum dan membatasi hak asasi manusia?” ujarnya.
“Saya kita pembatasan terhadap hak pilih bagi anggota eks PKI dan keturunannya tetap bisa dikatakan konstitusional. Karena di Indonesia berdasarkan UUD 1945. Pembatasan itu bisa dilakukan oleh pembuat undang-undang terhadap semua hak asasi manusia kecuali yang ada di pasal 28 huruf d,” terangnya.
Menurut Prof. Suteki, yang tidak bisa dibatasi itu misal hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, hak untuk tidak diperbudak. Sementara hak untuk dipilih, hak masuk ke instansi itu bisa dibatasi, meskipun sifatnya situasional.
“Ketika kita lihat ada indikasi komunisme akan bangkit, infiltrasinya di beberapa instansi sudah tampak, kita harus hati-hati. Jangan kemudian malah justru dibuka peluang untuk memasuki pertahanan negara terutama di TNI,” tandasnya.
Kalau itu dibuka, lanjutnya, sama saja membuka peluang. Nanti kalau sudah dikooptasi, ambyar negara yang konon katanya religius nation state menjadi negara komunis. Perlu saya ingatkan komunisme itu bertentangan dengan Pancasila dan Islam.
“Perlu saya sampaikan membaca peraturan itu tidak boleh hanya membaca leterlijk atau dari sisi gramatikal. Kita harus mengerti politik hukumnya. Politik hukumnya ada di bagian konsideran dari TAP MPRS Nomor 25 tahun 66 tadi,” jelasnya.
Secara historis, lanjut Prof.Suteki, juga jelas bagaimana pemberontakan PKI itu tahun 1948 dan tahun 1965. Korbannya jelas. Bagaimana kesadisan, kengerian dan seterusnya yang dilakukan itu.
Waspada
Menurut Prof. Suteki, secara kekinian ada eks PKI atau mungkin keturunannya sejumlah 15 sampai 20 juta menginduk ke organisasi PDIP. “Kita harus waspada. Kenyataannya DPR sebagai pembuat undang-undang itu banyak yang dari kiri. Ini harus diwaspadai sebab meski negara kita bukan negara komunis tapi peran partai sangat kuat,” tuturnya mengingatkan.
Prof. Suteki juga menyampaikan persoalan prediksi. Andai TNI sudah disusupi, kemudian DPR, MPR. Presidennya juga pro terhadap haluan kiri. “Anda bisa bayangkan kira-kira ke depan itu bagaimana?” ujarnya retoris.
“Sementara saya katakan tadi, kita sebagai religius nation state sebagaimana pasal 29 ayat 1 jelas anti komunisme,” pungkasnya [] Irianti Aminatun