Ketua RT Jadi Tersangka Buntut Aksi Hentikan Ibadah di Gereja Tidak Berizin, Siyasah Institute: Tendensi Negatif Atas Umat Islam
Mediaumat.id – Ditetapkannya sebagai tersangka bahkan pula dilakukan penahanan atas seorang Ketua RT bernama Wawan Kurniawan oleh kepolisian, buntut aksinya menghentikan kegiatan di gereja yang tidak memiliki izin di Bandar Lampung, menunjukkan adanya tendensi negatif pada umat Islam.
“Saya melihat memang masih ada tendensi negatif pada umat Muslim,” ujar Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada Mediaumat.id, Ahad (19/3/2023).
Dengan kata lain, menurutnya lebih lanjut, ada upaya meredam ghirah umat pada agamanya dengan terus menerus mengampanyekan isu intoleransi yang sasarannya kaum Muslim.
Sementara, sepanjang sejarah kemerdekaan negeri ini, tidak ada negara dengan minoritas non-Muslim yang jauh lebih aman ketimbang Indonesia. “Lihat saja negeri yang dominannya bukan Muslim, warga Muslim sering tertindas. India, Myanmar, bahkan di negara-negara Eropa, islamofobia terus meningkat,” bebernya.
Sedangkan di sisi lain, berkenaan syarat pendirian rumah ibadah yang menjadi faktor terjadinya aksi penghentian tersebut, kata Iwan mengurai, di negeri ini sebenarnya sudah ada dan malahan masih dipertahankan regulasi terkait itu, yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (SKB 2 menteri).
Sehingga, kata Iwan, tinggal ditimbang saja, apakah kasus gereja di Lampung itu memenuhi syarat-syarat tersebut ataukah tidak? Bila tidak, maka tindakan ketua RT itu sudah sesuai aturan. Apalagi diberitakan yang bersangkutan sudah berkali-kali menegur pengurus gereja.
Namun terlepas ketentuan-ketentuan di dalam regulasi ini, semisal persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, kasus seperti yang terjadi di Lampung tersebut sering kali disesatkan ke arah kerukunan umat beragama yang lantas menjadikan umat Islam sebagai tertuduh.
“Kasus-kasus seperti ini sering kali dimisleadingkan ke arah kerukunan umat beragama, isu intoleransi, radikalisme, dan sering kali (dari) kasusnya umat Islam yang dijadikan tertuduh,” sebutnya.
Padahal sebagaimana pengakuan Ketua Panitia Ibadah Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Parlin Sihombing ketika itu, izin pendirian rumah tinggal sebagai tempat ibadah tak kunjung keluar sejak 2014, yang berarti memang belum memiliki izin.
Bahkan dikutip dari berbagai media, Ketua RT Wawan yang telah dijadikan tersangka dan ditahan juga membantah aksi tudingan pelarangan maupun persekusi terhadap jemaat gereja.
Dia mengaku kedatangannya bersama sejumlah perangkat RT lainnya kala itu hanya untuk mengingatkan terkait perizinan.
“Sebelumnya sudah ada kesepakatan pada tahun 2020 lalu, karena belum ada izin dari pemerintah jadi diminta tunda dahulu untuk dijadikan tempat ibadah,” kata Wawan.
Tak Perlu Ditahan
Di kesempatan yang sama, Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Deding Ishak mendorong agar ketua RT dan pihak GKKD Lampung berdamai demi kestabilan keamanan dan kerukunan pun tetap terjaga.
“Saya setuju, ini (ketua RT) supaya tidak perlu ditahan oleh polisi, itu menjadi pelajaran bagi kita semua, untuk membenahi kembali terkait pemahaman kita tentang kebebasan beragama dan aturan turunan tentang pelaksanaan peribadatan,” kata Prof. Deding dalam keterangannya.
Pun demikian Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH Abdullah Syamsul Arifin (Gus Aab) yang meyakini bahwa pembubaran ibadah jemaat gereja tersebut dilakukan karena belum mengantongi izin pendirian tempat ibadah.
“Saya yakin apa yang dilakukan pemerintah setempat itu kan dasarnya karena memang legalitas dari pendirian tempat itu belum ada. Kalau memang sudah ada, mereka tidak akan melakukan pelarangan, apalagi pembubaran,” kata Gus Aab.
Maknanya, jika memang belum mengantongi izin, tambah Gus Aab, seharusnya jemaat gereja melaksanakan ibadah di rumah dahulu sampai izinnya keluar.
Karenanya, sambung Iwan menilai, belum tentu pihak yang melarang pelaksanaan peribadatan, terlebih tentang pendirian rumah ibadah umat non-Muslim itu bersalah.
Tetapi dikarenakan ulah kelompok sekuler-liberal melalui media massa misalnya, sekali lagi Iwan memaparkan, umat Islam lantas dijadikan tertuduh.
Sebaliknya kalau kasusnya umat Muslim yang jadi korban, seperti pemaksaan atribut Natal, larangan berkerudung bagi Muslimah di perkantoran atau sekolah-sekolah dengan Muslim sebagai minoritas, jarang diangkat ke permukaan. “Mereka rata-rata bungkam,” pungkasnya prihatin.[] Zainul Krian