Mediaumat.id – Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (Hilmi) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. memandang perlu mengkritisi dan mewaspadai agenda di balik perhelatan KTT G-20 baru-baru ini.
“Ini yang sebetulnya harus diwaspadai secara komprehensif bukan hanya sekadar perhelatan akbar tapi ada agenda-agenda yang memang perlu kita kritisi. Sebetulnya agenda di balik itu apa?” ungkapnya dalam rubrik Catatan Peradaban, Hajatan G-20: Indonesia Untung atau Buntung? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Kamis (17/11/2022).
Menurutnya, jika dilihat lebih jauh analisis kritisnya, dalam konteks strategi ke depan, KTT G-20 ini sarat dengan kepentingan negara-negara maju untuk menancapkan hegemoninya, terlebih khusus di negara-negara berkembang yang notabene potensi pasarnya itu sangat besar.
“Indonesia itu memiliki kekayaan alam dan jumlah penduduk yang sangat potensial yang bisa dijadikan sebagai target pasar bagi negara-negara maju,” bebernya.
Ketua Hilmi ini menambahkan bahwa suksesnya Indonesia menyelenggarakan KKT G-20 itu hanya sekadar pencitraan politik mercusuar yang ingin terlihat di mata dunia itu wow, tapi di dalamnya ternyata banyak kerapuhan. “Ini yang kita khawatirkan,” tuturnya.
Menanggapi bahwa G-20 ini bisa memberikan efek rembesan dari negara maju, Julian justru menilai sebaliknya, negara-negara maju itu akan semakin memperkaya diri bukan memberikan efek rembesan. “Negara-negara maju itu justru semakin mengeksploitasi negara-negara berkembang,” tegasnya.
Tantangan
Menurutnya, KTT G-20 menjadi tantangan bagi Indonesia untuk bisa memanfaatkan peluang. “Jangan sampai Indonesia sebagai negara berkembang justru dimanfaatkan oleh negara-negara maju,” tambahnya.
Ia pun memaparkan bahwa dalam konteks kapital, tidak ada makan siang gratis. Ketika negara-negara maju memberikan bantuan terhadap negara-negara berkembang atau negara miskin itu bukan sekedar bantuan semata tapi ada ke muatan politik ekonomi yang harus diwaspadai. “Hati-hati dengan jebakan itu” tandasnya.
Kalau Indonesia tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang kuat akhirnya justru diatur oleh negara-negara yang memberikan pinjaman atau investasi. Terlebih, banyak di antara para pejabat-pejabat ekonomi di negara ini yang justru alirannya neoliberal.
“Mereka cenderung menyerahkan potensi-potensi alam ke negara-negara maju, sehingga kita hanya bisa mendapatkan pajak. Economy value added-nya tidak signifikan dengan SDA yang dikorbankan,” pungkasnya.[] Lussy Deshanti