Mediaumat.news – Terkait Cina yang akan menyalurkan utang dan hibah sebesar Rp12 kuadriliun ke 165 negara termasuk Indonesia, Ketua Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (Hilmi) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. mengatakan utang luar negeri dapat merusak kedaulatan negara.
“Dalam jangka panjang, dapat menimbulkan ketidakstabilan APBN, bahkan lebih jauh merusak kedaulatan suatu negara,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Jumat (1/10/2021).
Menurut Julian, utang dan hibah yang akan disalurkan Cina sebesar Rp12 kuadriliun tersebut tentu bukanlah jumlah yang kecil. Apalagi jika dilihat dengan jumlah negara penerimanya sangat banyak. Hanya saja melihat kasus Srilanka yang membangun pelabuhan Hambantota dengan dana cukup besar sekitar 1,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 18 triliun hasil dari pinjaman China Harbour Engineering Company dan Sinohydro Corporation, akhirnya harus merelakan sebagian besar sahamnya beralih ke Cina akibat pemerintahnya mengalami kesulitan membayar utang setelah Pelabuhan tersebut dibuka.
Selain Srilanka, kata Julian, Kenya juga mengandalkan utang untuk membiayai jalur kereta baru yang menghubungkan kota pelabuhan Mombasa. Dan juga Maladewa yang meminjam dana sebesar US$ 200 juta atau setara Rp 2 triliun untuk pembangunan infrastruktur menghubungkan pulau ibu kota Male ke pulau Hulumale.
“Selain dari tiga negara tersebut diperkirakan masih banyak negara yang diduga kuat menjadi korban dari jebakan utang negara tirai bambu tersebut, terlebih hampir dua tahun semua negara siaga covid-19 yang melumpuhkan sektor ekonominya,” ungkap Julian.
Menelisik beberapa fakta tersebut, ia melihat setidaknya ada 8 negara dalam kondisi mengkhawatirkan dan bisa terancam bangkrut. Di antaranya adalah Pakistan, Djibouti, Maladewa, Laos, Mongolia, Montenegro, Tajikistan dan Kyrgyzstan.
Sedangkan dalam konteks Indonesia, berdasarkan data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Julian menyebut, proyek Belt and Road Initiative (BRI) atau jalur sutra Cina akan memberatkan rakyat Indonesia.
Ia membeberkan, saat ini ada 28 proyek besar senilai USD 91,1 miliar atau setara Rp 1.295,8 triliun dengan prioritas Kalimantan, Sumatera, Maluku dan Bali, yang didanai lewat utang dari Cina. Sehingga berpotensi terkena “debt trap” (DT) atau jebakan utang.
Debt Trap
Julian menjelaskan, dalam kajian ekonomi politik, “debt trap” merupakan manifestasi neoliberalisme yang berkembang dan dipelopori Alferd Marshall pada tahun 1890. Sistem ekonomi ini mengembangkan teori penjajahan baru dengan alat uang, dan berkembang lebih luas pada 1970-an oleh para ekonom dalam usaha melipatgandakan kekayaan negara serta konglomerasi.
Sehingga berdasarkan model tersebut, Julian menyebut posisi utang luar negeri bukan sekadar urusan utang-piutang semata, tapi merupakan cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara.
Sebab, menurutnya, dalam utang luar negeri terdapat dua bahaya yang bisa menyengsarakan negara. Pertama, bahaya jangka pendek. Ia menilai, utang luar negeri dapat menghancurkan mata uang negara pengutang dengan membuat kekacauan moneter. Hal itu terjadi karena saat jatuh tempo, utang luar negeri itu tidak bisa dibayar dengan mata uang negara pengutang, tetapi kadang harus menggunakan dolar AS atau hard money lainnya. Sementara hard money dalam kondisi tertentu bisa sulit didapatkan, sehingga terpaksa harus membeli mata uang ini dengan harga sangat mahal, yang berakibat mata uang negara pengutang akan babak belur dan nilainya turun drastis.
Julian menambahkan, ketika kondisi penurunan nilai mata uang terus terjadi, negara tersebut terpaksa mendatangi International Monetary Fund (IMF) untuk meminta bantuan. Akibatnya mata uang negara tersebut di bawah kendali IMF. Ujungnya IMF akan memaksa negara yang terjerumus tersebut untuk menjual komoditi berharganya seperti barang tambang dengan harga murah.
Kedua, bahaya jangka panjang. Julian melihat, bahaya ini menyasar politik negara terkait kedaulatan. Hal ini terjadi apabila komoditi-komoditi berharga sudah tidak cukup untuk membayar utang tersebut, sehingga akan menyeret aset-aset strategis negara sebagai alat pelunasan. Kalau itu terjadi, maka hampir semua kebijakan publik dapat diintervensi, seperti kasus yang begitu terang-terangan dilakukan Cina.
“Dalam theory of sovereignty, Jean Bodin menganggap negara tidak dianggap berdaulat jika kedaulatan berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi,” beber Julian.
Julian memandang, dalam sudut pandang Islam, syarat negara disebut berdaulat adalah ketika kedaulatan negara ada pada hukum-hukum syara’, sehingga haram kedaulatan negara disandarkan pada negara-negara kafir melalui utang luar negeri dan “debt trap” mereka.
Islam Melarang
Menurut Julian, berdasarkan hal itu Islam melarang negara melakukan pinjaman dari negara-negara asing serta lembaga keuangan internasional. Hal tersebut dikarenakan pinjaman yang berasal dari negara asing dan lembaga keuangan internasional tersebut selalu berkaitan dengan riba dan diikat dengan syarat-syarat tertentu, sehingga akan semakin berkuasa atas kaum Muslim. Dampaknya, segala keperluan dan kebutuhan kaum Muslim tergadai oleh semua keinginan dan keperluan negara-negara asing tersebut.
“Oleh karena itu sebagai pemerintah, tidak diperkenankan untuk menutupi anggaran belanja negara dengan menggunakan utang luar negeri sebagai pos pendapatan,” pungkas Julian.[] Agung Sumartono