Mediaumat.id – Menanggapi naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) secara signifikan dan tiba-tiba, Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (Hilmi) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. menilai perlunya mengkritisi data-data yang disampaikan oleh pemerintah.
“Melihat fenomena tersebut, maka kita melihat hampir seluruh masyarakat Indonesia kena prank. Alih-alih sebelumnya tak ada kenaikan sampai akhir tahun, ternyata, Sabtu kemarin itu kenaikannya cukup signifikan. Kalau kita melihat fakta-fakta tersebut, terutama data-data yang disampaikan oleh pemerintah ini perlu untuk kita kritisi,” tuturnya dalam Kabar Petang: Pemerintah Berbohong Soal Subsidi BBM 502 T? Sabtu (10/9/2022) di kanal YouTube Khilafah News.
Menurutnya, klaim pemerintah bahwa subsidi BBM sekitar Rp502 triliun itu tidak benar. “Berdasarkan data yang saya miliki berdasarkan laporan keuangan per 31 Juli, dua bulan yang lalu, total penggunaan subsidi untuk BBM itu di kisaran Rp88 triliun,” ungkapnya.
Jumlah dalam laporan tersebut, menurutnya, lebih sedikit dibandingkan dengan klaim pemerintah. Oleh karena itu, Julian mengatakan perlunya untuk mengkritisi data-data tersebut. “Saya khawatir, data-data ini kemudian di-blow up sebagai justifikasi untuk anggaran-anggaran yang lain,” imbuhnya.
Bancakan Politik
Julian menjelaskan, jika melihat asumsi makro yang digunakan pemerintah dalam penetapan subsidi, angka yang dialokasikan sekitar U$D105 per barel. Sementara harga minyak mentah dunia saat ini, menurutnya, berada pada kisaran di bawah U$D100 per barel.
“Artinya, sebetulnya angka-angka tersebut tidak relevan digunakan sebagai justifikasi. Logikanya, angka tersebut jauh dari angka yang diasumsikan oleh pemerintah. Kecuali kalau misalkan pemerintah mengasumsikan bahwa kenaikan harga itu, (saat) harga minyak mentah dunia di atas U$D105 per barel. Mungkin, kita akan ada semacam pembenaran,” terangnya.
Ia menambahkan, saat pemerintah menaikan harga BBM, justru ada perusahaan swasta menurunkan harga. Bahkan, BBM yang tidak disubsidi justru harganya lebih murah dari yang disubsidi. Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan pertanyaan publik.
“Kita khawatir bahwa ini ada semacam justifikasi anggaran untuk dijadikan bancakan politik. Jadi, angka-angka seperti itu perlu untuk kita klasifikasi, untuk dikritisi karena menurut laporan data yang kita miliki ini angkanya tidak sebesar itu,” tegasnya.
Penggelembungan
Selain data Rp502 triliun yang tidak real di lapangan, Julian mengingatkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengatakan akan terjadi pembengkakan sampai Rp600 triliun lebih. Padahal, menurutnya, berdasarkan data tersebut ada beberapa pos anggaran yang sebelumnya tidak ada dan hal ini menimbulkan pertanyaan terkait peruntukan pos tersebut.
“Kita khawatir yang sudah-sudah, misalkan anggaran untuk Bansos Covid-19 saja mengalami penggelembungan atau korupsi. Jadi, kita khawatir terjadi hal yang sama seperti itu,” katanya.
Apalagi, menurutnya, saat ini sudah mendekati tahun pemilu. Ia mengkhawatirkan, anggaran seperti itu digunakan sebagai bancakan politik atau untuk alokasi infrastruktur yang mangkrak seperti proyek kereta cepat dan ibu kota negara (IKN).
“Kita khawatirkan itu, seolah-olah menjadikan rakyat sebagai justifikasi bahwa ini adalah subsidi. Padahal, realitasnya itu tidak demikian. Ini yang perlu kita kritisi dan kita kawal terus,” pungkasnya. [] Ikhty