Ketika Kesalahan Terus Dibela

 Ketika Kesalahan Terus Dibela

Oleh: KH. Rokhmat S.Labib

Sikap paling baik ketika berbuat kesalahan adalah mengakui kesalahan, berhenti melakukannya, bertaubat dan minta ampun kepada-Nya, dan bertekad tidak mengulanginya lagi di masa depan.

Namun jika yang dilakukan sebaliknya, yakni tidak mengakui kesalahan, berkelit dan mencari-cari alasan, maka akan terjerumus kepada kesalahan yang lebih dalam. Bahkan, akan menambah daftar kesalahan baru. Kesalahannya makin bertambah dan semakin jauh dari kebenaran.

Itulah yang terjadi pada pembakaran bendera tauhid oleh sejumlah anggota Banser di Garut. Oleh ketuanya, dibela. Bahwa anggotanya sedang membakar bendera HTI.

Padahal jelas, tidak ada satu tulisan di bendera itu kecuali kalimat: La ilaha illaLlah Muhammad Rasulullah saw. Tidak ada tertera tulisan HTI di situ. Kemendagri juga sudah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bendera HTI adalah bendera yang mencantumkan tulisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di bawah kalimat La ilaha ilLallah.

Seandainya itu adalah bendera HTI, lalu apa kesalahan HTI sehingga mereka begitu membencinya? Jawabannya: Karena HTI mau menegakkan Khilafah. Pertanyaannya: Apa kesalahan Khilafah? Khilafah adalah ajaran Islam. Dalilnya jelas: ada dalam al-Quran dan al-Sunnah, terdapat dalam kitab tafsir, syarah Hadits, fiqh, sirah, dan sebagainya. Juga sudah diterapkan dalam Islam selama kurang lebih 13 abad lamanya. Dan ketika itu, umat Islam mengalami kejayaan, keadilan, dan kesejahteraan.

Alasan lainnya: memuliakan kalimat tauhid, daripada tercecer di jalan dan dibuang di selokan. Kalau memuliakan, semestinya dikibarkan dengan rasa bangga. Minimal, dilipat yang rapi dan ditaruh di tempat terhormat.

Sementara yang dilakukan oleh mereka, justru membakarnya, diiringi dengan nyanyian dan kepalan tangan, dengan bangga dan jumawa seolah telah berhasil memusnahkan bendera milik musuhnya.

Mereka mungkin lupa, bahwa itu adalah bendera Rasulullah saw. Itulah rayah, bendera hitam bertuliskan kalimat la ilaha illaLlah Muhammad RasuluLlah.

Ibnu Abbas ra bersabda:

كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ

Rayah Rasulullah saw berwarna hitam dan Liwa’ beliau berwarna putih (HR al-Tirmidzi, al-Baihaqi, al-Thabarani dan Abu Ya’la).

Dalam riwayat lainnya, disebutkan:

كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ فِيْهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Rayah Rasulullah saw berwarna hitam dan Liwa’ beliau berwarna putih; tertulis di situ la ilaha illa Allah Muhammad RasululLah (HR. Abu Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlaq an-Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Jika kalian masih mengakui beliau sebagai nabi, mengapa mereka membencinya? Jika masih menjadikan beliau sebagai panutan, mengapa benderanya mereka hinakan?

Tidak adakah rasa takut di hati mereka tidak diakui sebagai umatnya karena berani lancang terhadap benderanya? Tidakkah mereka khawatir di hari Kiamat kelak beliau menolak memberikan syafaatnya karena mereka telah memusuhi sebagian syariatnya?

Apalagi jika dilihat kalimat yang tertulis di dlaamnya: Lâ ilâha illâL-âh Muhammad RasuluL-lâh?

Jika mereka membenci kalimat itu, tidakkah mereka takut diragukan keislamannya oleh-Nya karena dua kalimat itu adalah dasar aqidah Islam? Tidakkah mereka khawatir kesulitan membaca dua kalimat ketika malaikat maut mencabut nyawa mereka?

Walhasil, ketika perbuatan salah terus dibela, hanya akan akan menjerumuskan pelakunya ke jurang kesalahan lebih dalam; serta akan menambah daftar kesalahan-kesalahan baru. Sebab, kesalahan hanya bisa dibela dengan alasan yang salah. WaL-lah a’lam bi al-shawab.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *