Ketika Keberadaan Freeport Terasa Meresahkan
Oleh: Agus Kiswantono (Direktur FORKEI)
Keberadaan PTFI terus menuai protes dari sebagian masyarakat Indonesia. Namun ada indikasi kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI) yang akan terus diperpanjang. Keberadaan Freeport McMoRan melalui PTFI di Indonesia bukanlah persoalan bisnis biasa, namun lebih merupakan penjarahan dan penjajahan yang bisa dilihat dari dua hal.
Pertama: Sejak awal mula mereka mendapatkan ijin di Papua pada tahun 1967 sudah berpijak pada upaya pemaksaan terhadap Indonesia. Lisa Pease, seorang penulis asal Amerika Serikat, menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA and Freeport Sulphur.” Artikel yang dimuat di Majalah Probe (Maret 1996) dan di situs Real History Archives (realhistoryarchives.com) itu menggambarkan jejak penjajahan Freeport di Indonesia.
Lisa menuturkan bahwa salah seorang dewan direksi Freeport dan Texaco, Augustus C Long, merupakan tokoh di belakang keberhasilan Presiden Johnson pada saat Pemilihan Presiden AS tahun 1964. Atas jasanya tersebut, Long memiliki hubungan khusus dengan Presiden AS Johnson dalam menyusun roadmap politik luar negeri AS. Long inilah yang oleh Lisa disebut sebagai perancang kudeta terhadap Soekarno melalui CIA dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang dia sebut sebagai “our local army friend”. Salah satu bukti yang Lisa paparkan adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan ada kelompok Jenderal Soeharto yang akan mendesak Angkatan Darat agar merebut kekuasaan dari tangan Soekarno. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi tentang kebenaran peristiwa tersebut.
Menurut penelusuran Lisa, Long berusaha menyingkirkan Presiden Soekarno karena pada tahun 1961 Soekarno mengeluarkan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut disinyalir akan menghambat rencana Freeport di Indonesia. Setelah Presiden Soeharto berkuasa, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan. Atas dasar UU PMA tersebut kemudian pada 7 April 1967 Pemerintah Indonesia menandatanganani kontrak izin eksploitasi tambang di Papua bagi Freeport. Jadi sejak awal, keberadaan Freeport di Indonesia merupakan salah satu fakta intervensi AS di negeri ini.
Kedua: Sejak rezim Orde Baru hinggga rezim saat ini tidak ada yang berani mengevaluasi keberadaan Freeport. Bahkan berbagai kebijakan Pemerintah tampak sengaja disesuaikan dengan kepentingan Freeport. Misalnya, sejak semula Freeport melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. UU yang efektif berjalan sejak 12 Januari 2014 tersebut mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun smelter dan melarang ekspor bijih mineral termasuk emas tanpa diolah terlebih dulu di dalam negeri. Sanksi bagi perusahaan tambang yang tidak mau membangun smelter adalah penghentian kontrak karya.
Faktanya, PT Freeport hingga saat ini belum juga membangun smelter. Pemerintah tidak memberikan sanksi apapun terhadap pelanggaran tersebut. Ironisnya, Pemerintahan Jokowi justru memperpanjang MoU dengan Freeport untuk enam bulan hingga Juli 2015 dengan beberapa poin tambahan. Di antaranya, PT Freeport hanya diminta menjamin kepastian pembangunan smelter dengan menunjukkan lokasinya. Menurut Mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM Sukhyar PT Freeport diminta membangun industri hilir berbasis tembaga di Papua sebagai opsi yang lebih mudah dibandingkan dengan membangun smelter di Papua.
Perpanjangan MoU tersebut membuktikan ketidakberdayaan Pemerintahan Jokowi di hadapan PT Freeport. Sesuai UU No. 4/2009 mestinya kontrak PT Freeport telah dicabut karena pelanggaran yang mereka lakukan. Namun, Pemerintah justru memberikan perpanjangan waktu dan mengijinkan PT Freeport untuk tetap mengekspor bijih mineral tanpa diolah terlebih dulu di dalam negeri. Padahal perusahaan tambang nasional termasuk BUMN sekalipun dilarang mengekspor bijih mineral tanpa diolah terlebih dulu di dalam negeri.
Tidak hanya masalah smelter, PT Freeport juga tidak menyetorkan dividen kepa-da Pemerintah tahun 2012, 2013 dan 2014 (Kompas.com, 27/1/2015). Untuk tahun 2014 lalu, misalnya, dari kewajiban memberi dividen Rp 1,5 triliun, realisasi setoran Freeport hanya Rp 350 miliar. Anehnya, Pemerintah tidak memberikan sanksi apapun terhadap berbagai pelanggaran PT Freeport. Hal ini membuktikan bahwa penguasa di negeri ini, sejak Orde Baru hingga rezim saat ini, memang tidak berdaya menghadapi PT Freeport. Sebagaimana artikel Lisa Pease di atas, terkait PT Freeport memang ada intervensi kuat dari Gedung Putih terhadap penguasa di negeri ini.