Mediaumat.info – Persoalan kecurangan pemilu yang begitu vulgar dan tidak bisa dihentikan, menurut Direktur Siyasah Institute Iwan Januar terjadi karena tidak adanya ruang iman dan takwa (imtak) di dalam sistem demokrasi.
“Peluang adanya kecurangan itu di mana-mana sudah terjadi, satu hal yang kemudian bisa menghentikan itu adalah iman dan takwa dan itu yang tidak ada dalam sistem demokrasi sekuler sekarang,” ujarnya dalam Kabar Petang: Lonjakan Suara PSI, Operasi “Sayang Anak”? di kanal YouTube Khilafah News, Ahad (10/3/24).
Karena, menurutnya, dengan ketidakhadiran iman dan takwa orang akan berebut kekuasaan dengan cara apa saja.
“Dengan cara Machiavelis menghalalkan segala cara dengan menggunakan money politic, menggunakan kebijakan kekuasaan, mengerahkan pejabat, mengerahkan aparat, mengerahkan atau membuat hukum,” tegasnya.
Yang dengan menghalalkan segala cara itu, jelas Iwan, bisa membuat mereka ini berkuasa, dan hal seperti inilah yang menjadi perbedaan yang signifikan antara sistem demokrasi sekuler dengan sistem Islam.
“Dalam Islam orang yang ingin menduduki jabatan, dia akan sadar dengan sesadar-sadarnya bahwa jabatan itu adalah merupakan amanah yang sangat berat dan setiap kecurangan akan dibongkar dan dibalas Allah SWT, jadi unsur takwanya itu yang akan kemudian menjadi rem, menjadi bumper dia dari melalukan tindakan kecurangan seperti itu,” bebernya.
Di dalam sejarah Khulafaur Rasyidin, kata Iwan, ketika menjelang pengangkatan Khalifah Abu Bakar ra, para sahabat akhirnya semula muncul ada hasad untuk berkuasa, akhirnya melepaskan hasrat itu dan menyerahkan pada Abu Bakar.
“Karena mereka (para sahabat) tahu di antara mereka tidak ada orang yang dekat dengan Nabi SAW kecuali Abu Bakar atau ketika peralihan transisi dari Abu Bakar pada Umar, Umar tidak melihat bahwa tidak ada orang yang kuat di dalam sikap dan ketakwaan itu setelah Abu Bakar adalah Umar bin Khattab, maka mereka meminta Abu Bakar untuk mengangkat Umar sebagai pengganti beliau,” ungkapnya.
Dari kasus ini, kata Iwan, menunjukan bahwa iman dan takwa itulah yang menjadi bumper dan menjadi pengendali kekuasaan.
“Tapi kalau hari ini, orang ketika sudah berkuasa dan sudah mentok kekuasaannya, bisa dia ganti undang-undangnya, kekuasaan mentok diganti pejabatnya, kekuasaan mentok dia akan melibas semua yang menjadi penghalangnya untuk dia berkuasa,” tegasnya.
Jadi, jelas Iwan, inilah persoalannya. Ketika pejabat diangkat dan disumpah Al-Qur’an tapi itu hanya untuk formalitas saja sementara unsur iman dan takwa tidak muncul, karena iman dan takwa itu terwujud hanya dengan pelaksanaan syariat Islam sebagai gaya hidup dan sebagai solusi dan juga sebagai konstitusi dalam kehidupan bermasyarakat.
Baku
Iwan juga menjelaskan bahwasanya dalam syariat Islam itu hukumnya sudah baku dan sudah fiks.
“Jadi ketika ada orang yang ingin melakukan kecurangan, ingin menyiasati syariat pasti akan ketahuan dan bisa didakwa dengan dakwaan melakukan tindakan kecurangan yang melanggar syariat,” ujarnya.
Sedangkan hari ini, kata Iwan, sudah berkali-kali melakukan pelanggaran di dalam pemilu mulai dari kampanye, penyalonanan dengan Mahkamah Konstitusi (MK), sampai sekarang tidak bisa diambil tindakan.
“Karena hukumnya bisa diubah, bisa dipelintir sesuai kepentingan penguasa,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi