Mediaumat.news – Menanggapi penghinaan terhadap Rasulullah SAW melalui konten kartun Nabi Muhammad SAW di sebuah sekolah Prancis oleh Guru Bahasa dan Sejarah Samuel Paty, Pengamat Politik Internasional Farid Wadjdi menilai bahwa penghinaan kepada Nabi dan Rasul Akhir Zaman yang terus berulang itu disebabkan ketiadaan khilafah di tengah umat Islam.
“Ini semua terjadi karena di tengah-tengah umat Islam itu tidak ada lagi khilafah Islam,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Selasa (27/10/2020).
Menurutnya, adanya seruan boikot yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan ritel Kuwait dan Arab Saudi menarik produk asal Prancis terkait penggunaan konten kartun Nabi Muhammad di sebuah sekolah adalah sesuatu yang positif.
“Tentu saja, adanya seruan boikot itu adalah hal yang positif. Adanya kemarahan umat Islam dengan aksi demonstrasi itu adalah hal yang positif. Dan sudah seharusnya setiap umat Islam marah dan menunjukkan kemarahannya itu,” ujarnya.
Namun, menurutnya, ada yang lebih mendasar daripada itu semua sebagai sebuah solusi yaitu adanya kekuatan politik umat Islam di level internasional. “Keberadaan negara khilafah yang akan memberikan efek jera, sebagaimana Sultan Abdul Hamid II yang pernah menghentikan penampilan teater karya Voltaire di Prancis dan Inggris yang isi menghina Rasulullah SAW,” terangnya.
Apa yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II dengan memanggil wakil diplomatik Inggris dan Prancis dengan pakaian kebesaran militernya serta dikelilingi oleh pembantu-pembantunya yang juga dengan pakaian kebesaran militernya dengan penuh kewibawaan, menurut Farid, inilah yang benar-benar dibutuhkan oleh umat Islam pada saat sekarang ini.
“Sultan Abdul Hamid mengatakan kalau pemutaran drama yang menghina Rasulullah SAW itu tetap dilakukan maka dia akan menyerukan jihad fi sabilillah untuk memerangi Prancis dan Inggris. Akhirnya, Prancis dan Inggris menghentikan penampilan teater yang menghina Rasulullah SAW tersebut,” bebernya.
Kebobrokan Sistem Sekuler
Ia menilai penghinaan berulang yang dilakukan oleh Prancis yang menganggap dirinya sebagai penyokong negara sekuler dunia justru mencerminkan kebobrokan dari sistem sekuler. “Sistem sekuler ternyata tidak bisa membedakan antara kebolehan pendapat yang mereka sebut kebebasan berpendapat dengan penghinaan,” ujarnya.
Menurutnya, ini menunjukkan suatu paradoks. Ketika pembelaan orang-orang Islam terhadap kaum Muslimin Palestina yang diserang oleh Israel dianggap Prancis sebagai anti Smith dan itu diperkarakan. “Tapi, kenapa ketika umat Islam marah saat Rasulullah SAW dihina Perancis dan negara-negara Barat lainnya kemudian membela habis-habisan penghina Rasulullah SAW dengan alasan kebebasan berpendapat, ” sesalnya.
Ia menilai diamnya mayoritas penguasa negeri-negeri Islam kecuali Presiden Turki Erdogan menunjukkan tidak ada keberpihakan penguasa-penguasa negeri Islam terhadap Islam yakni pembelaan masalah-masalah keislaman dan pembelaan kepada Rasulullah SAW.
“Di satu sisi mereka cepat sekali bereaksi, mengucapkan belasungkawa ketika ada korban yang oleh Barat disebut sebagai korban terorisme. Tapi, di sisi lain ketika Rasulullah SAW dihina, mereka cenderung diam dan tidak melakukan tindakan yang nyata,” ungkapnya.
Ini sekali lagi menunjukkan bahwa sebagian besar penguasa negeri-negeri Islam, menurutnya, adalah boneka Barat.
Terakhir, Farid membeberkan alasan kenapa pengulangan penghinaan terhadap Rasulullah SAW ini terus terjadi.
“Sederhananya, karena Barat tidak melihat kekuatan politik yang bisa menghentikan dan memberikan sanksi yang tegas terhadap mereka. Kekuatan politik yang memberikan efek jera terhadap negara-negara Barat yang melakukan penghinaan terhadap umat Islam. Kekuatan politik ini tidak ada atau hilang di tengah umat Islam sejak runtuhnya khilafah Islam,” ujarnya.
Di samping itu, ia menilai, Barat dengan seenaknya memperlakukan umat Islam karena mereka tahu mayoritas penguasa negeri-negeri Islam akan tunduk kepada mereka. Penguasa-penguasa negeri Islam tidak akan melakukan tindakan yang nyata untuk menghentikan penghinaan ini.
“Barat juga tahu bahwa umat Islam meskipun marah, tapi tidak akan ada yang bisa menggerakkan dan memobilisasi umat Islam sebagai kekuatan yang bisa memberikan efek jera yaitu dengan mobilisasi militer,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it