Kesuksesan Sejati: Perjalanan yang Dimulai di Bulan Ramadhan

Setiap tahun, Ramadhan hadir dalam kehidupan kita, membawa perubahan—momen pencerahan saat kita menjauh dari rutinitas harian dan mengajukan pertanyaan yang lebih dalam kepada diri sendiri. Ini adalah bulan saat kita secara alami mengevaluasi kembali hubungan kita dengan Allah SWT, prioritas kita, dan arah hidup kita. Di waktu yang sakral ini, kita mulai merenungkan: Apa arti sebenarnya dari kesuksesan?
Untuk sesaat, gangguan dunia seakan memudar. Kita berpuasa, memperbanyak ibadah, bersedekah, dan memohon ampunan. Tiba-tiba, kita merasa bahwa hal-hal yang pernah menyita waktu kita—status sosial, ambisi pekerjaan, harta benda—tidak lagi penting. Sebaliknya, kita merasakan kepuasan mendalam dalam ibadah kita, dalam hubungan kita dengan Al-Qur’an, dan dalam saat-saat pengabdian kita kepada Allah SWT yang dijalankan dengan keikhlasan.
Namun setelah Ramadhan berakhir, ujian pun dimulai. Struktur dan disiplin yang telah kita bangun mulai mengendur, dan segera dunia kembali mencengkeram kita. Jadi pertanyaan sebenarnya adalah: Bagaimana kita mempertahankan pola pikir yang ditanamkan Ramadhan dalam diri kita? Bagaimana kita tetap fokus pada kesuksesan sejati—kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh Islam—tidak hanya selama bulan Ramadhan, tetapi sepanjang hidup kita?
Apa kesuksesan sejati itu?
Dunia di sekitar kita mengajarkan kita bahwa kesuksesan itu diukur dari apa yang kita miliki, seberapa banyak yang kita hasilkan, gelar yang kita peroleh, atau pujian yang kita terima dari orang lain. Namun Allah SWT mendefinisikan kesuksesan dengan cara yang sangat berbeda:
﴿فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ﴾
“Siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (TQS. Ali Imran [3] : 185).
Ayat ini memaksa kita untuk merenungkan kembali segala sesuatu yang telah kita latih untuk mengukur kesuksesan. Bila segala daya upaya kita hanya tertuju pada dunia—karier, kekayaan, nama baik—namun tidak mendekatkan kita dengan surga, maka pada hakikatnya semua itu tidak ada artinya.
Jadi, kesuksesan sejati itu adalah terhindar dari neraka dan masuk ke dalam Surga.
Selama bulan Ramadlan, fakta ini menjadi lebih nyata. Kita mengalami secara langsung bahwa kepuasan tidak datang dari akumulasi kekayaan atau status sosial, tetapi dari mendekatkan diri kepada Allah. Ujian sesungguhnya adalah apakah kita membiarkan pemahaman ini membentuk kembali seluruh pendekatan kita terhadap kehidupan setelah Ramadlan berakhir.
Bagaimana kita sebagai kaum Muslim meraih kesuksesan?
Jika kesuksesan sejati itu adalah meraih keridhaan Allah SWT, maka itu bukanlah suatu konsep yang dapat kita definisikan dengan istilah kita sendiri. Itu harus berakar pada ketaatan kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan—ibadah kita, kehidupan keluarga kita, urusan keuangan kita, perilaku sosial kita, dan peran kita di tengah umat.
Banyak orang yang membatasi pengertian ibadah hanya pada ibadah-ibadah individual, seperti shalat, berpuasa, dan berdzikir, dengan melupakan bahwa pengabdian sejati kepada Allah jauh lebih luas dari itu. Keberhasilan terletak pada hidup sesuai dengan perintah Allah, bukan hanya dalam praktik-praktik pribadi, tetapi juga dalam cara kita menghadapi dunia di sekitar kita.
﴿فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً﴾
“Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal saleh dan tidak menjadikan apa dan siapa pun sebagai sekutu dalam beribadah kepada Tuhannya.” (TQS. Al-Kahfi [18] : 110).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kesuksesan bukan hanya sekedar keyakinan, tetapi suatu tindakan. Ini tentang menjalani seluruh hidup kita sesuai dengan hukum Allah, melaksanakan perintah-perintah-Nya dalam semua hubungan kita, pekerjaan kita, urusan keuangan kita, dan dalam tanggung jawab kita terhadap masyarakat.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
«إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ»
“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (profesional dan sempurna).” (HR. Baihaki).
Hadits ini menegaskan bahwa ibadah tidak hanya sebatas shalat dan puasa saja, akan tetapi meliputi pula pelaksanaan terhadap seluruh kewajiban hidup, baik tugas pekerjaan, keluarga, maupun pengabdian kepada umat dengan penuh keikhlasan dan kesempurnaan (keprofesionalan). Kesuksesan adalah ketika setiap keputusan selalu sejalan dengan apa yang diridhai Allah, entah itu dalam perkawinan, membesarkan anak, mencari kekayaan, atau menegakkan keadilan di tengah masyarakat.
Kesuksesan sejati itu tidak berada dalam kondisi peningkatan spiritualitas yang sementara, tetapi dalam ketundukan terhadap perintah Allah dalam setiap aspek kehidupan, setiap hari sepanjang tahun.
Bulan Ramadan sering kali memperkuat ikatan keluarga; Kita berbuka puasa bersama, shalat bersama, saling menyemangati untuk berbuat baik, namun setelah sebulan berlalu, kita kembali pada rutinitas seperti biasa, dan momen seperti ini menjadi langka.
Kesuksesan bukan hanya tentang mengamankan kehidupan setelah mati, namun ia mencakup aktivitas membimbing keluarga kita menuju kebaikan.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (TQS. At-Tahrim [66] : 6).
Kesuksesan sejati dapat diraih dengan mendidik keluarga yang mengutamakan Islam, yang hidupnya hanya berorientasi mencari keridhaan Allah, dan menyadari bahwa dunia ini hanya sementara.
Banyak orang menghabiskan hidup mereka hanya mengejar pekerjaan, mereka percaya bahwa stabilitas keuangan sama dengan kesuksesan. Namun, Ramadhan mengingatkan kita pada sesuatu yang lebih dalam, yakni bahwa kekayaan tidak ada nilainya kecuali jika digunakannya di jalan Allah.
Nabi SAW bersabda:
«لَا يَحِلُّ لِعَبْدٍ أَنْ يَأْخُذَ مَالَ أَخِيهِ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ»
“Tidaklah halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Kesuksesan bukan dalam mengumpulkan harta, tetapi dalam memperoleh uang dan membelanjakannya dengan cara yang diridhai Allah. Jika kesuksesan finansial kita diperoleh dengan mengorbankan nilai-nilai yang kita anut, mengabaikan ibadah kita, atau menyakiti orang lain, maka itu bukanlah kesuksesan, melainkan pengalih perhatian.
Islam tidak mendorong pada definisi kesuksesan secara individu, karena kesuksesan seorang Mukmin terkait erat dengan kesuksesan umat.
﴿كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ﴾
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (TQS. Ali Imran [3] : 110).
Siapa saja yang hanya peduli dengan kesuksesan pribadinya dan mengabaikan kondisi umat, maka ia telah salah memahami Islam. Kesuksesan sejati itu artinya adalah membela keadilan, menghidupkan kembali agama, dan berjuang untuk kembalinya Islam sebagai jalan hidup.
Ujian sesungguhnya bagi kesuksesan bukanlah Ramadlan itu sendiri, tetapi apa yang terjadi setelahnya. Banyak di antara kita yang kembali pada rutinitas lama, kehilangan fokus dan kejelasan yang diberikan Ramadlan kepada kita. Namun jika kita benar-benar memahami kesuksesan sebagai upaya mencari keridhaan Allah, maka Ramadlan adalah titik awal, bukan puncaknya.
Nabi SAW bersabda:
«أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ»
“Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat.” (HR. Nasai).
Kesuksesan tidak ditemukan dalam momen kegembiraan spiritual, tetapi dalam komitmen seumur hidup terhadap Islam.
Kita memohon kepada Allah SWT agar memberikan kita kesuksesan sejati, bukan hanya di bulan Ramadlan, tetapi di setiap momen setelahnya. Allāhumma Innī Asaluka al-Firdausa al-A’lā (Ya Allah aku memohon kepada Engkau surga Firdaus yang paling tinggi). Āmīn! [] Yasmin Malik
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 5/3/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat