Kesesatan Orang Musyrik
Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? (TQS al-Ahqaf [46]: 5).
Dalam ayat sebelumnya telah dijelaskan tentang kebatilan para penyembah berhala selain Allah SWT. Dari segi fakta, berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak memiliki kemampuan menciptakan bumi, bagian mana pun. Juga tidak memiliki sedikit pun andil dalam menciptakan langit. Dari segi berita kitab suci, tidak ada satu pun yang membenarkan penyembahan terhadap berhala mereka. Juga, tidak ada satu pun riwayat yang meyakinkan dari para utusan Allah SWT. Dengan demikian, akidah mereka membenarkan penyembahan kepada berhala-berhala selain Allah SWT tidak memiliki dalil sama sekali, baik dalil aqli maupun dalil naqli.
Ayat ini kembali menunjukkan kesesatan akidah dan kebatilan ibadah orang-orang musyrik itu.
Paling Sesat
Allah SWT berfirman: Wa man adhallu mimman yad’û min dûniL-lâh (dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah). Kata man merupakan istifhâm (kata tanya). Dalam konteks ayat ini, istifhâm bermakna al-nafîy (menegasikan). Artinya, tidak ada seorang pun.
Ada juga yang mengatakan itu adalah istifhâm tersebut merupakan inkâriy (pengingkaran). Artinya, tidak ada seorang yang lebih jauh dari kebenaran dan dekat dengan kebodohan dari orang-orang yang menyembah patung-patung selain Allah SWT, lalu dia jadikan sebagai tuhan-tuhan dan sesembahan padahal patung-patung itu jika diseru tidak mendengar.” Al-Baidhawi juga berkata, “Mengingkari adanya satu orang yang lebih sesat daripada orang-orang musyrik.”
Pengertian ini juga dikemukakan oleh para mufassir lain. Imam al-Qurthubi berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih sesat dan lebih bodoh.” Dikatakan pula oleh Abu Bakar al-Jazairi, “Tidak ada seorang pun yang lebih sesat daripada orang yang menyembah kepada sesuatu yang tidak mengabulkan sedikit pun apa yang mereka minta selama-lamanya.”
Al-Syaukani juga berkata, “Tidak ada seorang pun yang lebih sesat dan lebih bodoh darinya. Sebab, dia berdoa kepada sesuatu yang tidak mendengar, lalu bagaimana bisa dikabulkan? Apalagi mendatangkan manfaat dan mencegah mudarat? Maka jelaslah bahwa dia adalah orang bodoh yang paling bodoh dan orang sesat yang paling sesat. Sedangkan istifhâm merupakan kecaman dan celaan.
Tak Bisa Mengabulkan Doa
Kemudian diterangkan fakta kesesatan mereka dengan firman-Nya: Man lâ yastajîbu lahu ilâ yawm al-qiyâmah (yang tiada dapat memperkenankan [doa] nya sampai hari kiamat). Mereka disebut sebagai orang yang paling sesat lantaran menyembah dan meminta kepada sesuatu yang tidak dapat mengabulkan doa dan permintaannya hingga hari Kiamat. Mengenai ayat ini, al-Khazin berkata “Patung-patung itu tidak dapat mengabulkan apa pun yang diminta oleh penyembahnya. Kata ilâ yawm al-qiyâmah (sampai hari Kiamat) bermakna tidak bisa mengabulkan selama-lamanya, sepanjang ada dunia.”
Jika dikaitkan dengan frasa sebelumnya, ayat ini bermakna, “Tidak ada yang lebih sesat daripada orang yang menyembah patung-patung dan meminta dari sesuatu yang tidak bisa mereka kabulkan hingga hari Kiamat.” Demikian dikatakan Ibnu Katsir.
Dalam ayat ini, kata man menunjuk patung-patung yang disembah. Padahal, kata ganti tersebut biasanya digunakan untuk menunjuk makhluk berakal. Menurut al-Syaukani, hal itu disebabkan karena keyakinan orang-orang musyrik bahwa patung-patung tersebut berakal.
Frasa ilâ yawm al-qiyâmah tidak memberikan makna bahwa sesudah hari Kiamat berlaku sebaliknya, yakni mereka dapat mengabulkan. Tidak berarti demikian. Sebab, yang terjadi pada hari Kiamat semua sesembahan mereka itu justru mengingkari kemusyrikan mereka. Allah SWT berfirman: Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu (TQS Fathir [35]: 13).
Dengan demikian, ketidakmampuan berhala-berhala untuk mengabulkan doa itu juga berlaku setelah hari Kiamat. Dengan kata lain, bermakna selama-lamanya, sebagaimana diterangkan para mufassir. Ini sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan (TQS Shadd [38]: 78).
Tak Mendengar dan Mengerti
Makna ayat ini bukan berarti laknat Allah SWT atas Iblis tidak ada lagi setelah hari Kiamat.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wahum ‘an du’âihim ghâfilûn (dan mereka lalai dari [memperhatikan] doa mereka?). Dhamîr hum (kata ganti mereka) yang pertama di sini kembali kepada berhala-berhala, sedangkan yang kedua kembali kepada para penyembahnya. Artinya, berhala-berhala yang mereka sembah itu lalai terhadap doa-doa mereka karena tidak mendengar dan tidak berakal lantaran benda mati. Ibnu Katsir berkata, “Lalai terhadap apa yang dikatakan kepadanya.”
Kata ghaafila merupakan bentuk fâ’il dari mashdar al-ghuflah (lalai). Secara bahasa, kata tersebut berarti lalai yang menghinggapi manusia disebabkan oleh minimnya penjagaan dan kesadaran. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, patung-patung yang disembah itu disifati dengan lalai karena diserupakan dengan seseorang yang lalai terhadap apa yang dikatakan kepadanya. Ketika patung-patung itu tidak paham sedikit pun terhadap apa yang dikatakan kepadanya, maka itu serupa dengan orang yang lalai sesuatu yang dilalaikannya.
Makna ini pula yang disampaikan oleh para mufassir lainnya. Imam al-Qurthubi berkata, “Mereka tidak mendengar dan tidak mengerti”. Ibnu Katsir juga berkata, “Tidak mendengar tidak melihat, dan tidak memiliki kekuatan. Sebab, patung-patung itu adalah benda mati dari batu yang tidak bisa bicara.”
Secara keseluruhan, ayat ini menyampaikan celaan dan teguran terhadap orang-orang musyrik yang pendapatnya sangat buruk dan sesat. Ibnu Jarir berkata, “Sesungguhnya ini merupakan celaan Allah SWT kepada orang-orang musyrik karena buruknya pandangan mereka dan tercelanya pilihan mereka dalam penyembahan mereka kepada sesuatu yang tidak mengerti dan tidak memahami apa pun, serta penolakan mereka untuk menyembah kepada Dzat yag memberikan kepada mereka semua kenikmatan dan Dzat yang mereka mintai pertolongan ketika mereka memerlukan kebutuhan dan tertimpa musibah.”
Demikianlah. Orang-orang musyrik itu sesungguhnya adalah orang paling sesat dan paling bodoh. Sekalipun bergelar profesor atau doktor, tetap saja mereka adalah orang paling bodoh. Betapa tidak sesat dan tidak bodoh, mereka menyembah benda mati. Jangankan bisa mengabulkan doa, mendatangkan manfaat, dan mencegah bahaya, mendengar dan melihat pun tidak bisa, Bahkan, sekadar bergerak saja tidak bisa.
Untuk membebaskan diri mereka dari penyembahan patung-patung dan berhala, maka mereka harus berpikir dengan benar. Sebab, dogma dan ajaran mereka dengan mudah dipahami kesesatannya tatkala mereka mau berpikir. Tak aneh jika dalam Alquran amat banyak yang memerintahkan mereka untuk berpikir dan menggunakan akalnya dengan benar. Wa-Llâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
- Para penyembah patung adalah orang yang paling sesat dan paling bodoh
- Mereka disebut demikian karena mereka menyembah benda mati yang tidak bisa mengabulkan doa mereka, mendatangkan manfaat, dan mencegah mudarat. Bahkan, sekadar bergerak saja tidak bisa
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 212