Kesamaan Jaminan Negara untuk Muslim dan Non Muslim dalam Sejarah Khilafah
Oleh: Lalang Darma (Islamic Independent Journalist)
Dalam konsep Islam, sebagai warga negara, baik Muslim maupun non Muslim, sama-sama mendapatkan jaminan dari negara, terkait dengan kebutuhan dasar mereka. Mulai dari kebutuhan dasar orang per orang, seperti sandang, papan, dan pangan, hingga kebutuhan dasar secara kolektif, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semuanya dijamin oleh negara, dan sama. Tanpa ada diskriminasi, antara Muslim dengan non-Muslim.
Inilah hak mereka. Hanya saja hak-hak lain, seperti menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi negara, harus didetailkan. Sebab, di dalamnya ada ketentuan hukum yang berbeda, antara Muslim dengan non Muslim.
Non-Muslim yang menjadi warga Khilafah dilindungi. Pernah ada kejadian tindak kezaliman yang dilakukan oleh anak gubernur, Amru bin Ash, di Mesir pada masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. Khalifah Umar segera memanggil Gubernur dan anaknya. Dalam persidangan, anak Gubernur mengaku bahwa ia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani. Sesuai dengan hukum acara pidana Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima ganti rugi (diyat) atas kezaliman tersebut. Anak Qibthi itu memilih qishash. Setelah pelaksanaan hukum qishash itu, Khalifah Umar mengatakan, “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak gubernur. Oleh sebab itu, cambuk saja gubernur itu sekalian!” Namun, anak Qibthi tadi menolaknya. Ia pun menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum Islam yang dia peroleh. Khalifah Umar pun berkomentar, “Hai Amru, sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?”
Pada masa Kekhalifahan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib, beliau pernah kehilangan baju besi sepulangnya dari Perang Shiffin. Tidak lama kemudian beliau menemukan baju besinya ada di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah (non-Muslim yang menjadi warga Khilafah). Ringkas cerita, terjadilah peradilan kasus tersebut dengan hakimnya Qadhi Syuraih. Karena tidak cukup bukti, hakim pun memutuskan bahwa Yahudi tersebut berada di pihak yang benar. Khalifah Ali divonis keliru. Ali menerima keputusan tersebut. Setelah jatuh vonis, sang Yahudi itu berkata, “Duhai Amirul Mukminin, Anda berperkara dengan aku. Ternyata, hakim yang engkau angkat memenangkan aku. Sungguh, aku bersaksi, ini adalah kebenaran, dan aku bersaksi La ilaha illalLah Mumammadu rasululLah.”
Di Mesir, warga Khilafah yang beragama Kristen dari suku Koptik banyak bekerja dalam bidang jasa keuangan. Adapun warga Khilafah beragama Yahudi secara umum bekerja dalam profesi kesehatan dan kedokteran. Hubungan antarumat beragama pada masa Khilafah terjalin harmoni. Secara ringkas, Hourani (2005) mengutip ath-Tahabari mengatakan: “Relations between Muslims and Jews in Umayyad Spain, and the Muslims and the Nestorian Christians in Abbasid Baghdad, were close and easy.”[]