Kesaksikan Dokter di Ghouta: Kami Melihat Pembantaian Besar
Ghouta Timur di pedesaan Damaskus, beberapa hari terakhir menyaksikan gempuran paling sengit yang belum pernah terjadi. Mesin pembunuh rezim Assad dan Rusia menjatuhkan ribuan bom ke kota yang pernah mengalami serangan kimia pada 2013 lalu itu. Tercatat sudah empat ratus lebih korban tewas dan ribuan luka-luka.
“Hari ini, kami menjalani hari-hari terburuk dalam hidup kami di Al-Ghautah,” kata direktur rumah sakit Ghouta Timur, dr. Amani Balour, Rabu lalu, menggambarkan kondisi Ghouta Timur.
Gempuran dan serangan bukan menjadi hal baru bagi Balaour selama lima tahun bertugas di kota tersebut. Namun, serangan yang dimulai pada Ahad itu belum pernah disaksikannya. “Saya belum pernah manyaksikan gempuran sedahsyat ini,” imbuhnya.
Dokter lainnya menggambarkan bahwa yang terjadi di kota yang terkepung sejak 2013 itu merupakanpembantaian terbesar di abad ini. Ia pun menyamakan situasi di Ghouta Timur seperti pembantaian yang pernah terjadi di era 80 dan 90-an.
“Jika pembantaian yang terjadi tahun 1990-an adalah di Srebrenica, dan pembantaian tahun 1080-an di Halabja, Sabra dan Shatila, Ghouta timur adalah pembantaian terbesar yang terjadi abad ini,” kata sumber tersebut seperti dilansir The Guardian.
Ia mengisahkan kejadian yang baru dialaminya, sebelum berbicara kepada The Guardian. Di tengah bombardir sengit, datang seorang anak kecil mukanya sudah membiru dan nafasnya tersengal-sengal. Mulutnya penuh debu. Dengan sigap, ia segera mengeluarkan debu-debu tersebut dari mulutnya. Saya, lanjutnya, sudah tidak berpikir apa yang saya kerjakan itu sesuai dengan panduan buku ilmu kedokteran. Paru-paru anak tersebut telah terinfeksi debu. Anak itu ternyata baru selamat dari reruntuhan bangunan yang hancur akibat bom.
Dokter-dokter yang ada di Ghouta Timur sejak Ahad lalu harus bekerja 24 jam untuk mengobati korban luka-luka yang terus berjatuhan. Laporan adanya sejumlah fasilitas medis yang menjadi target serangan udara tak menghentikan mereka melayani pasien.
Dokter Fares Oreiba, yang juga bertugas di Ghouta Timur, mengatakan bahwa sebagian besar korban tewas adalah anak-anak dan perempuan. Dia menggambarkan bahwa yang terjadi di tempatnya bekerja hari ini adalah bencana kemanusiaan.
“Saya dapat memberitahu Anda bahwa situasinya sudah mencapai tahap bencana. Ada empat rumah sakit yang hancur sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk membantu warga Ghouta Timur,” katanya kepada CNN melalui sambungan telepon.
Terlepas dari situasi tragis, Federasi Organisasi Perawatan Kesehatan dan Bantuan mengungkapkan bahwa warga saat ini tidak dapat menemukan tempat untuk berlindung. Mereka ingin menyelamatkan nyawa, tapi kelaparan yang mereka derita akibat blokade membuat tubuh mereka lemah.
Rezim hanya membolehkan konvoi bantuan masuk sekali sejak November 2017. Hal itu menunjukkan di Ghouta Timur saat ini sedang terjadi krisis makanan.
Menurut BBC, harga roti sekarang 22 kali lebih tinggi dari harga rata-rata nasional. Sebanyak 11,9 persen balita sangat kekurangan gizi, yang merupakan angka tertinggi sejak pecahnya konflik di tahun 2011.
Di sisi lain, Amnesty International mengatakan bahwa “kejahatan perang mengerikan” dilakukan di Ghouta timur dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Orang-orang tidak hanya menderita pengepungan yang telah berlangsung bertahun-tahun, tapi sekarang terjebak dalam serangan harian yang membunuh mereka dan dengan sengaja menyebabkan mereka, yang merupakan kejahatan perang yang mengerikan,” kata Guardian mengutip Diana Semaan.[]
Sumber: kiblat.net