Mediaumat.id – Kericuhan penuh kekerasan yang tengah melanda Prancis belakangan ini, dinilai Direktur Siyasah Institute Iwan Januar, sebagai bentuk kegagalan suatu negeri menjadi pelebur pluralitas masyarakatnya.
“Secara umum di Eropa terutama di Prancis itu gagal memang menjadi tempat peleburan masyarakat yang plural, misalnya,” ujarnya dalam Fokus Reguler: Rusuh Prancis, Kegagalan Sekularisme Tata Masyarakat Plural? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (9/7/2023).
Dengan kata lain, peristiwa ini menggambarkan Prancis gagal menjadi apa yang ia sebut sebagai melting point untuk semua warga yang berbeda suku bangsa, termasuk sayap kanan berikut ideologi mereka.
Tak hanya itu, masyarakat Eropa secara umum, khususnya Prancis, masih meyakini bahwa ras mereka, kulit putih, lebih unggul dari yang lainnya.
Sehingga, tambahnya, sekalipun Prancis mempunyai jargon liberte, egalite, fraternite, yang berarti menjunjung tinggi kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, yang muncul pasca-Revolusi Prancis 1789, itu berlaku atas ras mereka saja.
Semisal apa yang menimpa Nahel Merzouk, remaja yang tewas setelah di tangan polisi yang mencoba menghentikannya karena melanggar lalu lintas, Selasa (27/6) dan disinyalir menjadi pemicu kerusuhan, disebutnya sebagai salah satu dari tiga penyakit yang mendera Prancis, yakni rasialisme.
Bahkan mengutip hasil riset dari laporan situs Lemonade, Iwan menyampaikan bahwa 9 dari 10 warga kulit hitam di Prancis mengaku pernah menjadi korban rasialisme. “Bukan enam puluh, tujuh puluh persen. Sembilan puluh persen orang kulit hitam di Prancis menjadi korban rasialisme,” tegasnya.
Berikutnya, orang-orang di Prancis menganut prinsip xenofobia, yaitu perasaan benci (takut, was-was) terhadap orang asing yang datang, dalam hal ini kaum imigran.
Namun demikian, di satu sisi keberadaan mereka juga dibutuhkan untuk menggerakkan roda perekonomian.
Islamofobia
Begitu pula dengan islamofobia yang menurut Iwan, sampai saat ini secara umum di Eropa masih tetap muncul.
Padahal, sebagai negara sekuler, tambahnya, sekat-sekat agama semestinya hilang. Tetapi secara fakta tidak demikian. “Bahkan hampir di (semua) negara Eropa, itu banyak kelompok sayap kanan, jadi ultranasionalis. Mereka lebih rasial dibandingkan orang-orang yang rasial,” tandasnya, masih terkait islamofobia.
Karenanya, lanjut Iwan, menjadi salah satu tantangan bagi dunia Islam untuk meyakinkan umat bahwa agama ini bukanlah ancaman seperti yang mereka sangka. Terlebih sebagaimana Eropa telah melihat Islam ini memiliki prinsip melakukan futuhat atau perluasan wilayah kekuasaan.
Dengan kata lain, Islam bukan sekadar agama ritual seperti agama lain. “Mereka melihat dari sejarah dan dari konteks ajaran Islam ini bukan agama yang sekadar mengajarkan orang ibadah, tetapi yang akan membangun tata peradaban dunia baru,” pungkasnya.[] Zainul Krian