Kerusuhan Kazakhstan Meluas, FIWS Sindir Pemerintahan Otoriter

Mediaumat.id – Meneropong makin meluas dan beringasnya kerusuhan di Kazakhstan, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadji menyampaikan bahwa tidak ada pemerintahan otoriter yang bertahan selamanya.

“Ini menjadi pelajaran yang berkali-kali bagi kita, bahwa tidak ada pemerintah otoriter yang itu bisa bertahan selamanya,” ujarnya dalam Kabar Petang: Meneropong Kerusuhan Mencekam di Kazakhstan, Senin (10/01/2022) di kanal YouTube Khilafah News.

Diberitakan sebelumnya, kerusuhan dimaksud berawal dari kemarahan rakyat yang berunjuk rasa di Kota Zhanaozen memprotes kenaikan harga bahan bakar gas cair/elpiji pada 2/1/2022. Selanjutnya aksi protes itu mendadak menjalar ke kota-kota lain dan kini menjerumuskan negara itu dalam krisis terbesarnya.

Apalagi menurut Farid, selama tiga dekade Pemerintahan Nursultan Nazarbayev berjalan otokratik dan dikenal sebagai rezim otoriter. Bahkan setelah tampuk kepemimpinan diserahkan kepada loyalisnya, Kassym-Jomart Tokayev, sebenarnya Nazarbayev masih mengendalikan negara dari belakang layar.

“Selama ini perubahan yang mereka harapkan dengan pengunduran diri dari Nursultan Nazarbayev itu ternyata hanya sekadar kamuflase politik,” beber Farid.

“Jadi masih ada persoalan yang belum selesai dari transisi politik ini. Banyak pihak yang percaya rezim lama sesungguhnya masih mengendalikan negeri ini,” imbuhnya.

Korupsi yang makin menguat, ketimpangan pendapatan hingga kesulitan ekonomi menjadi persoalan di antaranya. “Dan semua ini diperparah oleh pandemi virus corona,” tukasnya.

Padahal seperti diketahui, Republik Kazakhstan termasuk salah satu negeri Muslim yang kaya dengan kekayaan sumber daya alam yang secara geografis berada di wilayah Asia Tengah.

Sebutlah potensi uranium yang menjadikan Kazakhstan termasuk produsen uranium global tertinggi di dunia. “Negara ini kalau kita lihat juga pengekspor minyak terbesar kesembilan di dunia,” terangnya.

Hanya saja, sambung Farid, sedikit rakyat Kazakhstan yang mendapatkan hasil dari kekayaan alam melimpah itu. “Diperkirakan lebih dari satu juta orang dari total 19 juta penduduk Kazakhstan hidup di bawah garis kemiskinan. Demikian juga inflasi tahunan berjalan mendekati 9%. Tertinggi dalam lima tahun terakhir ini,” tandasnya.

Demikian Kazakhstan yang menurut Farid tidak hanya karena masalah kenaikan harga bahan bakar berikut krisis ekonominya, tetapi terdapat problem akut berupa krisis politik di negara pecahan Uni Soviet tersebut.

Geopolitik

Secara geopolitik, lanjut Farid, Kazakhstan menjadi sangat penting karena menghubungkan pasar Cina dengan wilayah Asia Selatan yang besar dan berkembang pesat. Demikian juga dengan perekonomian Rusia dan Eropa melalui jalur darat maupun pelabuhan di Laut Kaspia.

Karena itulah Rusia sebagai pewaris tunggal dari keruntuhan Uni Soviet yang komunis, kata Farid, tak akan membiarkan Kazakhstan serta wilayah Asia Tengah lainnya lepas dari kendalinya.

Malah, di dalam upayanya melestarikan pengaruh di kawasan Asia Tengah, Rusia membentuk aliansi militer Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO) yang ditandatangani bersama Armenia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, dan Uzbekistan.

Hal yang sama juga dilakukan Amerika Serikat (AS). “AS pada waktu itu merasa bahwa dialah sebagai pemenang dalam pertarungan selama perang dingin antara Soviet dan AS,” kata Farid terkait alasan kenapa negara tersebut juga sangat bernafsu menguasai kawasan Asia Tengah.

Terlebih, strategi yang tampak sebagaimana catatan Deplu AS tentang enam langkah kebijakannya. Pertama, mendukung serta memperkuat kedaulatan dan kemerdekaan negara-negara di Asia Tengah. Kedua, mengurangi ancaman teroris di Asia Tengah.

Ketiga, perluasan dan dukungan untuk stabilitas di Afghanistan. Keempat, mempromosikan interaksi antara Asia Tengah dan Afghanistan. Kelima, mempromosikan supremasi hukum dan reformasi hak-hak asasi manusia. Dan keenam, mempromosikan investasi ekonomi AS di Asia Tengah.

Namun, berkenaan dengan poin mendukung serta memperkuat kedaulatan dan kemerdekaan negara-negara di Asia Tengah, menurut Farid, tidak seutuhnya negara-negara di Asia Tengah bisa lepas dari pengaruh Rusia.

Apalagi banyak rezim di Asia Tengah yang sebelumnya memang merupakan elite politik yang komunis. “Banyak elite-elite di Kazakhstan sebenarnya adalah anggota partai politik politbironya Soviet sebelumnya,” ungkap Farid dengan menambahkan bahwa faktor inilah yang menjadikan negara-negara di Asia Tengah tak bisa benar-benar berdaulat penuh.

Berbagai ancaman teroris di sana pun, seperti halnya poin kedua, menurut Farid merupakan strategi penting AS, terutama setelah serangan WTC. “Kita tahu bahwa war on terrorism ini menjadi alat untuk masuk di berbagai kawasan di dunia,” kata Farid.

Adapun perluasan dan dukungan stabilitas di Afghanistan, dijelaskan Farid, sebagai upaya AS mengaitkan negara-negara di Asia Tengah dengan kepentingannya di sana. “Kita tahu, setelah mundurnya AS dari Afghanistan, AS kemudian memainkan negara-negara regional di sekitar Afghanistan untuk kemudian tetap menjaga kepentingan AS di Afghanistan,” bebernya.

Demikian juga dengan langkah kebijakan AS lainnya, yakni mengangkat isu-isu supremasi hukum dan pelanggaran HAM. “Kita tahu negara-negara di kawasan Asia Tengah ini sebagian besar rezimnya adalah rezim yang otoriter dan represif,’ jelasnya.

Arab Spring

Di sisi lain, terkait dengan peristiwa serupa di berbagai negeri Muslim termasuk Kazakhstan, Farid berharap, ketidakpuasan rakyat terhadap penguasa otoriter yang berujung kemarahan bahkan kerusuhan, tidak sekadar bersifat emosional yang tak menyelesaikan. “Arab spring sudah menunjukkan hal itu,” timpalnya.

Maka itu, belajar dari Arab spring, belajar dari reformasi di Indonesia, ‘ketidakpuasan’ dengan meluapkan kemarahan tidak bisa menyelesaikan masalah. “Kemarahan seperti itu (memang) bisa mengganti rezim, tetapi tidak kemudian mengganti sistem,” tuturnya.

Dengan kata lain, rakyat tidak hanya menuntut perubahan rezim, namun lebih kepada perubahan sistem yang menjadi pangkal persoalan berbagai krisis di dunia ini. “Perubahan itu tidak bisa sebatas perubahan yang didorong oleh kemarahan saja, tetapi harus mengarah kepada perubahan ideologis,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: