Kerusuhan Inggris sebagai Pengalihan Opini Publik

Mediaumat.info – Berbagai isu islamofobia maupun xenophobia (fobia terhadap imigran/orang asing) hingga pecah kerusuhan di Inggris baru-baru ini, menurut Pemimpin Redaksi Majalah Al-Wa’ie Farid Wadjdi digunakan untuk mengalihkan perhatian publik terhadap persoalan internal mereka.

“Isu islamofobia dan xenofobia yang dimanfaatkan oleh kelompok sayap kanan hanyalah untuk mengalihkan pandangan publik terhadap persoalan yang sebenarnya, yakni kondisi perekonomian internal di Eropa yang sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya dalam Sorotan Dunia Islam, Rabu (14/8/2024) di Radio Dakta 107.0 MHz FM Bekasi.

Sebutlah di antaranya angka pengangguran yang makin meningkat sebagaimana dilansir Business Times, Selasa, 16 April 2024, Kantor Statistik Nasional (ONS) Inggris menjelaskan tingkat pengangguran naik menjadi 4,2 persen dalam tiga bulan hingga Februari setelah angka 3,9 persen pada periode sebelumnya. Ini merupakan lonjakan terbesar sejak 2020.

Di saat yang sama, jelas Farid, tidak sedikit pula masyarakat di sana yang lantas menjadikan Islam sebagai pilihan agama mereka di tengah kondisi kehidupan dengan tingkat stres maupun individualisme yang tinggi.

Dalam kurun 10 tahun saja (2011-2021), beber Farid mengutip data ONS, pemeluk Islam di Inggris meningkat 44 persen.

“Singkatnya, kita ingin katakan islamofobia dan xenofobia ini, itu juga tidak bisa dilepaskan dari upaya mencari kambing hitam terhadap persoalan Eropa saat sekarang ini,” tandasnya, dalam hal ini Muslimlah yang menjadi sasaran.

Seperti diketahui demo diwarnai kerusuhan di Inggris meluas buntut penikaman tiga gadis di sebuah pesta dansa bertema Taylor Swift di Southport pada Senin pekan lalu. Komunitas Muslim menjadi sasaran.

Dilansir NBC News, Senin (5/8/2024), inti dari demonstrasi tersebut adalah teori konspirasi yang tersebar di media sosial. Insiden penikaman dimanfaatkan ekstremis sayap kanan untuk menyebarkan kebohongan bahwa pelakunya seorang Muslim, pencari suaka, atau keduanya.

Kurang dari tiga jam setelah serangan terhadap tiga gadis itu, gambar-gambar hasil AI, berupa seorang pria berpakaian Muslim tradisional mengacungkan pisau di luar gedung Parlemen Inggris, dibagikan di X oleh akun bernama Europe Invasion. Unggahan tersebut telah dilihat lebih dari 900.000 kali.

Padahal, sebagaimana diungkap kepolisian setempat, identitas pelaku penikaman itu adalah Axel Muganwa Rudakubana, remaja yang lahir di Cardiff, ibu kota Wales, dan kabarnya dari orang tua Kristen Rwanda, Afrika.

“Ini yang kemudian berikutnya menjadi target kecurigaan yang terus-menerus dibangun,” ulasnya lagi, hingga muncul perasaan benci (takut, waswas) terhadap orang asing, sesuatu yang belum dikenal atau pada yang serba asing (xenofobia) dalam diri masyarakat Eropa terutama terhadap Muslim.

Celakanya, kelompok sayap kanan Inggris yang memanfaatkan kondisi itu, akhir-akhir ini malah mendapat tempat yang lebih luas di dalam sistem politik dan ini dikampanyekan secara sistematis oleh politisi-politisi Barat.

Islam

Berbeda ketika sistem ekonomi Islam diterapkan berikut keberadaan orang asing justru dipandang sebagai unsur atau faktor yang berpotensi menguatkan perekonomian negeri.

“Kalau dalam Islam kan sebenarnya tidak. Lihatlah kultur masyarakat Islam di masa kekhilafahan Islam misalkan di Istanbul (Turki). Di Istanbul itu kalau kita lihat itu beragam warna kulit ada di sana, beragam suku bangsa ada di Istanbul,” bebernya.

“Demikian juga di pusat peradaban (kala itu) seperti di Spanyol. Di situ ada Kristen, di situ ada Yahudi, di situ ada Muslim. Terdiri dari berbagai bangsa, ada Afrika, ada Arab, ada Eropa sendiri,” tambahnya.

Artinya, pungkas Farid, justru keberadaan para imigran bisa menjadi kekuatan ekonomi suatu negara, asal sistem ekonominya mendukung. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: