Kerusuhan Hindu-Muslim India, Bukti Perlakuan Diskriminatif Pada Kaum Muslim

 Kerusuhan Hindu-Muslim India, Bukti Perlakuan Diskriminatif Pada Kaum Muslim

Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)

Kerusuhan Hindu-Muslim di New Delhi, India, telah makan ratusan korban sejak 23 Februari 2020. Mereka tewas dan luka-luka. Bentrokan ini dipicu serangan terhadap kelompok Muslim penolak Undang-Undang Citizienship Amendment Bill (CAB) oleh kelompok Hindu pendukung UU tersebut, di tengah kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Parahnya, bentrokan meluas. Massa juga membakar masjid-masjid. Kerusuhan ini berlanjut. Banyak orang diserang karena agamanya. Tak heran jika kerusuhan kemudian menjadi kekerasan berbasis agama terburuk yang terjadi selama beberapa dekade di India.

Ini berawal dua bulan lalu ketika Perdana Menteri Narendra Modi meloloskan Undang-Undang (UU) Anti-Muslim atau UU Amandemen Warga Negara (CAB). UU ini menjadi kontroversi di publik, khususnya warga India. Bahkan, sejumlah aktris Bollywood juga turut menyuarakan protes terhadap UU CAB, yang dianggap anti-Muslim. Tak sedikit dari para pekerja seni itu yang menyuarakan bahwa mereka tak ingin uang pajaknya dihamburkan untuk mendanai proyek “gila” semacam UU CAB.

Salah satu poin dalam UU CAB adalah tentang kemungkinan para imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan untuk mendapatkan kewarganegaraan, terkecuali mereka yang beragama muslim. Pada intinya, di bawah UU ini, umat Muslim India juga akan wajib untuk membuktikan bahwa mereka memang adalah warga negara India. Karenanya, sangat besar kemungkinan warga Muslim India justru akan kehilangan kewarganegaraan tanpa alasan. Ini jelas menunjukkan bahwa UU CAB sangat diskriminatif untuk umat Muslim.

UU CAB ini pertama kali diperkenalkan di Parlemen pada Juli 2016, yang merupakan amandemen UU Kewarganegaraan Citizenship Act 1955 yang menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan. Kontroversi utama UU CAB adalah peraturan ini dapat dipakai untuk menghalangi Muslim dalam mencari kewarganegaraan. UU CAB telah membuat ribuan orang melakukan aksi protes di jalan-jalan sejak Desember 2019 lalu.

Ini sungguh tak ubahnya kebijakan Donald Trump soal pelarangan umat Islam yang hendak mencari suaka di AS.

Yang dikritik dari UU CAB adalah karena ini menjadi langkah menuju agenda supremasi Hindu di bawah pemerintah PM Modi sejak berkuasa hampir 6 tahun lalu. Modi sendiri adalah seorang nasionalis Hindu.

Sejak terpilih sebagai perdana menteri pada 2014, Modi menyusun ulang wajah India. Yakni dengan meluncurkan platform “India Baru”. Akibatnya, India yang sebelumnya negara demokrasi sekular yang mengakomodasi keberagaman, seolah menjadi negara hanya bagi warga Hindu. Tak pelak, ini menjadikan warga Hindu selaku mayoritas, mendominasi pada minoritas, terutama terhadap 200 juta Muslim di negara itu.

Kebijakan-kebijakan kontroversial Modi ini seharusnya menjadi alarm buruk bagi pemerintahannya. Selain menghasilkan UU diskriminatif, Modi yang terus-menerus berfokus pada agenda politiknya, ternyata masih belum berhasil membawa perekonomian India ke arah lebih baik. Pertumbuhan ekonomi India di bawah kepemimpinannya bahkan yang terlambat dalam enam tahun terakhir. Ia juga menaikkan persentase pengangguran dari 6,9% menjadi 7,6% pada Januari tahun lalu.

Represifisme rezim Modi juga terbukti di Kashmir. Awalnya, pada Agustus 2019, India menetapkan peraturan baru dengan membuat Jammu dan Kashmir sebagai bagian dari negara kesatuan India, bukan lagi wilayah otonomi istimewa. Peraturan itu juga akan menetapkan wilayah terbagi menjadi dua dan menjadi negara bagian federal. Langkah ini, menurut Modi, adalah upaya menjaga perdamaian dan kesejahteraan.

Namun pada medio Oktober 2019 lalu, kekerasan terjadi di Kashmir. Kekacauan ini pecah usai India mencabut hak istimewa Kashmir. Dampaknya, ribuan orang ditahan dan rezim India merestorasi kebebasan sipil dan hak-hak dasar rakyat. Lagi-lagi warga Muslim yang jadi korban.

Wilayah Kashmir telah mengalami konflik tak henti-hentinya selama beberapa tahun terakhir. Baik India maupun Pakistan sama-sama mengklaim wilayah dengan penduduk mayoritas Muslim tersebut, dengan India menguasai sebagian besar wilayah.

Tak dipungkiri, berbagai konflik beragama di India ini dipicu oleh Islamofobia. Hingga tak pelak, mengakibatkan tindakan diskriminatif yang bisa berkembang menjadi luar biasa kejam terhadap Muslim India.

Begitulah kaum kafir. Hanya peduli pada hak asasi yang menguntungkan bagi pihaknya saja. Mereka hanya represif kepada kaum muslimin yang menurut mereka radikal, ekstremis, dan intoleran. Sungguh inkonsisten, ketika mereka memaksa hanya kepada Islam dan warga muslim untuk berubah menjadi moderat. Sementara warga di luar Islam, tak sedikit dari mereka yang sebenarnya jauh lebih radikal, intoleran, ekslusif, dan ekstrem.

Tak hanya di India, namun di seluruh dunia saat ini, tidak pernah ada penguasa yang benar-benar adil terhadap muslim, termasuk di negeri muslim terbesar seperti Indonesia. Demikianlah, kaum Muslim ketika lemah dan tidak bersatu akibat ketiadaan Khilafah sebagai perisai. Mereka menjadi lebih mudah dipecah belah bahkan dihancurkan.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *