Meski teknologi komunikasi tidak secanggih sekarang, namun belum sampai 24 jam Khilafah Utsmani runtuh, beritanya sudah mengopini di Nusantara, padahal jaraknya sekitar sembilan ribuan kilometer dari Turki.
Pada 4 Maret 1924, atau satu hari setelah keruntuhan negara yang memayungi dunia Islam tersebut, nieuwsblad (koran) yang terbit di Batavia (Jakarta) Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (selanjutnya ditulis Het Nieuws) memberitakannya dengan judul “De afschaffing van het Khalifaat” (Penghapusan Khilafah). Pemberitaannya menggambarkan tentang putusan Majelis Nasional Turki menghapus sistem khilafah.
De Turksche Nationale Vergadering bespreekt de afschaffing en de deportatie van den Khalief, terwijl alle leden van de Sultans-famillie voor eeuwig van het recht om in Turkije te verblijven beroofd zouden worden. (Majelis Nasional Turki membahas penghapusan dan deportasi dari Khalifah, sementara itu hak semua anggota keluarga Sultan (Abdul Madjid II, pen.) untuk tinggal di Turki akan dicabut selamanya.)
“Het Nieuws ini termasuk yang paling terdepan dan intens dalam mengabarkan berita penghapusan. Satu hari sebelumnya, atau tanggal 3 Maret 1924, Het Nieuws telah mengabarkan tentang rencana penghapusan sistem khilafah yang didorong Partai Rakyat Republik milik Mustafa Kemal Pasha,” ungkap sejarawan Septian AW kepada Media Umat, Ahad (25/2/2018) sembari menunjukkan kliping digitalnya.
De Turkesche volkspartij verklaarde zich met overweldigende meerderheid voor het wets ontwerp inzake de afzetting van den khalief en afschaffing van het Kalifaat. (Partai Turki [Partai Rakyat Republik, pen.] menyatakan dirinya sangat mendukung RUU tentang pemberhentian khalifah dan menghapuskan kekhalifahan)
“Meskipun terbit dalam bahasa Belanda, surat kabar ini tetap mudah diterima berbagai kalangan masyarakat karena bahasa tersebut menjadi bahasa formal saat itu. Sebutlah nama seperti Tjokroaminoto dan H Agus Salim, yang merupakan tokoh pergerakan Islam, sangat cakap berbahasa Belanda,” terang alumnus Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Adapun informasi detail tentang berita penghapusan khilafah dan upaya sekulerisasi di Turki oleh Mustafa Kemal dimuat oleh Het Nieuws dalam terbitannya 5 Maret 1924 masih dengan judul yang sama “De afschaffing van het Khalifaat”.
Sementara itu surat kabar lain, yang juga terbit di Batavia, Bataviaasch Nieuwsblad juga ikut memberitakan peristiwa penghapusan ini. Dalam terbitannya pada 5 Maret 1924, surat kabat ini menurunkan berita tentang Belangrijke Besluiten (Resolusi Penting) dari Turksche Rijk (Negeri Turki) yang isinya soal keputusan Dewan Nasional di Ankara menghapus sistem khilafah di Turki.
De nationale raad te Angora nam een resolutie aan tot afschaffing van het Khalifaat, tot verbanning van het sultanshuis Osman en ontneming van de Turksche nationaliteit aan de leden van dit geslacht, voorts tot scheiding van Kerk en Staat en tot hervorming van het onderwijs en de administratie. (Dewan Nasional di Ankara mengeluarkan resolusi menghapuskan kekhalifahan, pengasingan Sultan Usmani [Khalifah Abdul Majid II, pen.] dan pencabutan hak kewarganegaraan Turki, selain juga pemisahan gereja [urusan agama, pen.] dari negara serta mereformasi sistem pendidikan dan administrasi.)
Di kota lain, Surabaya, pemberitaan ini juga telah meluas. Ada surat kabar De Indische Courant yang pada terbitan 7 Maret 1924 menurunkan berita tentang De Kalifaat-Kwestie (Persoalan Khilafah). Isinya menyoal soal hasil pertemuan Dewan Nasional Turki yang menyetujui penghapusan khilafah, sekulerisasi Turki dan pengasingan Khalifah Abdul Majid II ke Swiss.
Daarop keurde de vergadering zonder verder debat de wetsontwerpen goed zoor afschaffing van de commissariaten en godsdienstige instellingen, waarna het wetsontwerp tot afschaffing van het kalifaat in zijn geheel werd aangenomen. De kalief vertrok naar Zwitserland. (Kemudian pertemuan menyetujui tanpa perdebatan lebih lanjut tentang penghapusan lembaga-lembaga pengawasan dan agama, mensahkan RUU penghapusan kekhalifahan secara keseluruhan. Kemudian khalifah pindah ke Swiss.)
Komunis Sinis
Beberapa pekan kemudian, surat kabar berbahasa Melayu juga ikut membahas soal penghapusan ini. Dalam surat kabar Neratja, yang dikelola KH Agus Salim, dimuat serial tulisan yang berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam.
“Tulisan yang diterbitkan selama 26-31 Maret 1924 ini memberitakan soal penghapusan Kekhilafahan Islam dan situasi Turki terbaru. Digambarkan pula tentang situasi kalut dunia Islam atas peristiwa tersebut,” beber Septian.
Kalangan komunis tentu saja tidak suka melihat semangat umat Islam untuk menegakkan kembali khilafah, maka mereka membahas soal penghapusan ini dengan nada yang sinis. Sebuah artikel pada surat kabar Medan Moeslimin, yang dikelola Haji Misbah, pada 15 April 1924 mengatakan kepada pembacanya untuk tidak telibat dalam hal apapun yang bersangkutan dengan Turki.
“Khalifah, dengan persatuan Islamnya, hanya menyebabkan kerugian besar bagi umat Islam. Kendati kolaborasi khalifah dengan Jerman baik sekali, jihadnya (dalam Perang Dunia II, red) telah gagal total. Adalah ilusi mengharapkan khalifah membawa persatuan umat Islam, membawa kebahagian dan kebebasan, karena hanya komunis yang akan mampu mewujudkannya,” ujar kandidat Master Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membacakan isi berita terbitan kaum palu arit.
Tetapi umat Islam tetap menginginkan tegak kembalinya khilafah, maka mereka mengadakan pertemuan Kongres Al-Islam di Garut pada Mei 1924, atau dua bulan setelah penghapusan Khilafah. Dalam pidato pembukaan kongres yang diadakan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad ini, KH Agus Salim menempatkan permasalahan ini dalam konteks perjuangan antara dunia Islam dan pemerintah kolonial.
Kemudian KH Agus Salim menegaskan, Kongres Al-Islam ini perlu mencari persatuan maka merupakan sebuah kewajiban dalam mencari solusi atas permasalahan khilafah. (Lengkapnya baca rubrik Kisah Tabloid Media Umat edisi 204: Respon Muslim Hindia Belanda Atas Runtuhnya Khilafah).
Penghapusan Kekhilafahan Islam di Turki pada 3 Maret 1924 memang telah menyedot perhatian dunia. Di Hindia Belanda (Indonesia), perkembangan situasi politik di Turki hingga keruntuhan Khilafah menjadi perhatian berbagai surat kabar baik yang berbahasa Belanda maupun Melayu.
Sikap pemberitaan maupun respon dari Indonesia bisa datang secara segera, meskipun teknologi transportasi dan komunkasi-informasi saat itu belum secanggih saat ini. “Hal ini dapat disimpulkan bahwa eksistensi keruntuhan khilafah memilki pengaruh yang signifikan bagi kehidupan Indonesia ketika itu. Respon ulama dan tokoh pergerakan Islam dalam Kongres Al-Islam pun mengindikasikan adanya kebutuhan mendesak agar sistem khilafah, dan juga tentu jabatan khalifah, untuk bisa diadakan kembali setelah keruntuhannya,” pungkas pendiri Komunitas Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)/klik: jejakislam.net.[] *joko prasetyo*
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 215