Mediaumat.info – Sejarawan Septian AW menyatakan peristiwa keruntuhan Khilafah Utsmani pada 3 Maret 1924 bukan satu peristiwa tunggal yang berdiri sendiri.
“Namun yang harus awal dipahami adalah bahwasanya dalam perspektif sejarah, apa yang terjadi pada 3 Maret 1924 ini bukan satu peristiwa tunggal yang berdiri sendiri,” tuturnya dalam Diskusi Online Media Umat: Menolak Lupa, Tragedi 3 Maret 1924, Ahad (3/3/2024) di kanal YouTube Media Umat.
Selain itu, jelas Septian, bukan juga peristiwa yang ujug-ujug terjadi. Ada banyak peristiwa yang mendahuluinya, dan ada juga nanti peristiwa yang kemudian mengikutinya, hingga mengubah Turki menjadi negara yang sekuler.
Kemudian, lanjutnya, bahkan mengubur segala sisa-sisa kekuatan dari keluarga Utsmaniah dan ada banyak pihak yang terlibat dalam segala perubahan pada saat itu, yang kemudian menjadi polemik bagi dunia Islam.
“Maka juga nanti kita akan perlu mengetahui tentang bagaimana respons dunia Islam ketika peristiwa 3 Maret ini terjadi,” tukasnya.
Menurutnya, dalam perspektif sejarawan, esensi dari pembubaran khilafah sebetulnya sebagai suatu konsekuensi logis dari kulminasi sejarah yang panjang yang memang sudah diinisiasi oleh para aktor-aktor sejarah sebelumnya. Baik para sultan Utsmani maupun mereka-mereka yang berkumpul dalam gerakan Turki Muda.
“Kita harus memahami sebagai peristiwa yang kompleks dan bukan hanya sekadar salah personal dari Mustafa Kemal. Karena ini sudah menjadi akumulasi. Seandainya Mustafa Kemal pun tidak ada, sudah banyak orang yang memprediksi sebetulnya khilafah ini akan runtuh, Khilafah Utsmani akan hancur,” ujarnya.
Menurutnya, yang terjadi selama waktu panjang tersebut pada intinya adalah bahwasanya Utsmani di masa akhir itu sudah meruntuhkan pondasi dasar dari keberadaan atau esensi dari khilafah.
“Penyebabnya adalah karena terdegradasinya pemikir di tengah-tengah umat, sehingga umat dan khilafah bahkan tidak bisa mengimbangi kemajuan kehidupan pada saat itu,” beber Septian.
Jadi, jelasnya, ketika Eropa itu sudah maju dengan segala teknologinya, dengan secara gagasan-gagasan kehidupannya justru dunia Islam termasuk khalifah atau khilafah pada saat itu mengalami stagnasi akibat kemunduran berpikir ini.
“Nah, dampaknya tadi, tidak bisa mengimbangi kemajuan kehidupan saat itu dan dampak yang paling buruk adalah hilangnya kepercayaan mereka bahwasanya Islam adalah sebagai sistem hidup,” jelasnya.
“Indikatornya banyak sekali di dunia Islam termasuk para khalifah di era Tanzimat terutama, yang justru mereka tidak merasa bersalah ketika mengadopsi pandangan-pandangan hidup Barat,” bebernya.
Tujuan mereka mengadopsi pandangan-pandangan hidup Barat ini, ungkap Septian, untuk mengejar ketertinggalan dari Eropa. Ini terlihat jelas dimulai tahun 1839 dengan banyaknya kebijakan khalifah yang saat itu justru semakin memperparah kekuatan pondasi dari Khilafah Utsmani yang tentu saja ini menjadi penyebab kemunduran terjadi.
“Maka sejak saat itulah sebenarnya Utsmani itu sudah melemah,” paparnya.
Untungnya, terang Septian, pada saat itu muncul Sultan Abdul Hamid II yang mulai mengintensifkan kembali pemikiran Islam dengan segala kebijakan-kebijakannya dengan segala kekurangan yang terjadi saat itu,” ungkapnya.
Pasalnya, saat itu sudah mulai tumbuh dan berkembangnya sekularisme di Turki sendiri, Sultan berusaha memperkuat kembali keislaman di tengah-tengah khalifah. “Bahkan Sultan Abdul Hamid juga mulai mencoba untuk memposisikan kembali Utsmani sebagai khilafah bagi dunia Islam,” terangnya.
Sayanganya, beber Septian, memasuki awal abad ke-20, Sultan Abdul Hamid II sudah uzur karena usia dan selain itu juga, gerakan Turki Muda semakin kuat, semakin berani menghadapi Sultan yang sudah tua ini sehingga kemudian mewujudkan revolusi Turki Muda di tahun awal abad ke-20 yang akhirnya membuat kekuatan politik bagi khalifah atau khilafah pada saat itu semakin berkurang, semakin melemah digantikan atau diimbangi oleh kekuatan kalangan Turki Muda.
Utsmani sangat tidak baik-baik saja bahkan esensi kekhilafahan sudah mulai memudar terutama ketika kalangan Turki Muda semakin berkuasa atas wilayah perpolitikan di Istanbul.
“Akhirnya, mereka melihat bahwasanya Utsmani ini sedang tersandera oleh gerakan Turki sekuler. Kemudian menjadi polemik yang kemudian akhirnya ada yang berusaha untuk memisah dari Utsmaniyyah, ada yang berusaha memodernkan kehidupan dunia Islam dengan cara menjauhkan Islam dari kehidupan,” tandasnya. [] Ajira