Kerja Paruh Waktu Wajib Tanpa Upah di Kampus, Pengamat: Potensi Muncul Ketegangan

Mediaumat.info – Kewajiban bekerja paruh waktu bagi mahasiswa penerima beasiswa atau pengurangan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di salah satu kampus ternama, dinilai berpotensi menimbulkan ketegangan antara institusi kampus dan mahasiswa.

“Kebijakan seperti ini bisa berpotensi menimbulkan ketegangan antara pihak institusi dan mahasiswa,” ujar Pengamat Pendidikan Maya Puspitasari, S.Pd., M.Sc., Ph.D., kepada media-umat.info, Selasa (1/10/2024).

Pasalnya, kebijakan tersebut telah mengabaikan kesejahteraan mahasiswa yang secara bersamaan dihadapkan pada beban akademik dan biaya pendidikan.

Sebagaimana diketahui, lingkungan perguruan tinggi yang sarat tuntutan dapat berdampak buruk bagi kesejahteraan mahasiswa, baik fisik maupun mental. Sebutlah tekanan akademik yang menumpuk, tuntutan sosial, ditambah masalah keuangan sering kali menjadi sumber utama stres dan kecemasan bagi kaum muda ini.

Menurut sebuah studi, mahasiswa sering mengalami gangguan tidur, kecemasan, dan depresi. Selain itu, mereka juga rentan terhadap penyalahgunaan zat dan perilaku tidak sehat lainnya. Sehingga sangat penting untuk memahami sumber-sumber stres ini dan mengambil langkah-langkah untuk memitigasi dampaknya.

Makanya, kata Maya lebih lanjut, perlu ditelusuri berkenaan dengan relevan tidaknya kewajiban kerja paruh waktu tersebut.

“Perlu ditelusuri juga apakah kebijakan paruh waktu itu memang untuk pengembangan keterampilan mahasiswa atau hanya sebatas melakukan pekerjaan yang tidak relevan dengan bidang yang ia tekuni,” paparnya.

Adalah sebelumnya, melalui surel pemberitahuan kebijakan yang dikutip Kamis (26/9), Institut Teknologi Bandung (ITB) menerapkan kebijakan wajib kerja paruh waktu di kampus bagi mahasiswa penerima beasiswa pengurangan UKT. Mahasiswa yang dimaksud yakni yang dikenakan UKT di bawah Rp12,5 juta.

Jika mahasiswa penerima pengurangan UKT tidak mengisi data formulir kerja paruh waktu, ITB akan mengevaluasi status beasiswa UKT-nya.

Sukarela

Meski demikian, sambung Maya, kebijakan kerja paruh waktu harus dilakukan secara sukarela. Pun supaya tak terkesan menjadi ajang eksploitasi tenaga dan waktu mahasiswa dari kalangan ekonomi tingkat menengah ke bawah, pihak ITB juga harus memberikan insentif memadai.

“Mahasiswa yang bekerja paruh waktu untuk mendukung operasional kampus seharusnya dihargai dengan upah yang memadai,” paparnya, seraya mengutip hadist riwayat Ibnu Majah yang artinya: ‘Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.’

Di sisi lain, UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1-5 juga telah mewajibkan pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sehingga, dengan kata lain, akses ke pendidikan yang berkualitas menjadi hak seluruh warga negara tanpa memandang sosial status mereka. Sehingga tak adalah alasan negara untuk tidak melaksanakan amanat itu.

Apalagi di saat yang sama, negara harus memprioritaskan anggaran (mandatory spending) pendidikan sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Di saat yang sama pula, betapa kekayaan sumber daya alam negeri ini sangat melimpah. Baik dari barang tambang hingga hasil laut maupun hutan, yang menurut Maya, sudah lebih dari cukup untuk dialokasikan kepada penjaminan kualitas pendidikan yang merata.

Pungkasnya, jika dikelola dengan baik dan amanah, bakal bisa menjadi sumber utama pembiayaan pendidikan di antaranya penyediaan perpustakaan, laboratorium atau sarana pendidikan lainnya yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.[] Zainul Krian

 

Share artikel ini: