Kepemimpinan Taliban akan Berakhir dengan Apa yang PLO Berakhir dengannya, Pengkhianatan Besar terhadap Islam dan Muslim
Para diplomat Taliban dan Barat mengadakan pertemuan di luar ibu kota Norwegia, Oslo, untuk pembicaraan yang berfokus pada krisis kemanusiaan Afghanistan, yang telah meningkat secara drastis sejak bulan Agustus lalu ketika Taliban kembali berkuasa 20 tahun setelah digulingkan dalam invasi pimpinan AS. Diskusi tertutup dengan perwakilan Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman, Italia, Uni Eropa dan Norwegia diadakan pada tanggal 24 Januari di Soria Moria Hotel, di puncak bukit bersalju di luar Oslo.
Komentar :
Para pemimpin Taliban menolak tawaran Hizbut Tahrir kepada mereka untuk mendirikan negara yang akan memerintah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Para pemimpin Gerakan itu kemudian menolak untuk menyatukan tujuan mereka dengan tujuan umat Islam yang lebih luas. Akibatnya, penduduk Afghanistan dalam beberapa bulan menjadi kelaparan, tidak dapat menemukan penghidupan yang layak, dan menjadi pencari perlindungan, yang mengantri di perbatasan dan bandara, dan melarikan diri dari negara itu. Penduduk menjadi berkurang dan energi manusia yang seharusnya digunakan untuk membangun negara telah habis. Setelah semua ini dan tragedi lainnya terjadi, para pemimpin gerakan Taliban memalingkan wajah mereka ke arah Barat yang senantiasa menguntit Islam dan memangsa kaum Muslim. Mereka berpaling ke Barat yang selalu menipu rakyat Afganistan dan membentuk aliansi militer yang menghancurkan benteng-benteng Afganistan, menghabisi rakyatnya, membuat kaum wanita menjadi janda dan membuat anak-anaknya menjadi yatim piatu. Jadi apakah semua ini terlewatkan oleh para pemimpin ini, terhapus dari ingatan mereka? Apakah pemimpin seperti itu layak untuk duduk dalam kepemimpinan?!
Ketika para pemimpin Gerakan Pembebasan Palestina PLO yang dipimpin oleh pengkhianat terbesar Yasser Arafat, pergi ke Oslo pada tahun 1993, bab terakhir untuk menghancurkan masalah Palestina telah dimulai, yang kemudian menghasilkan pembentukan “Otoritas” Palestina yang bertindak sebagai penjaga keamanan untuk entitas Yahudi yang menduduki negara Palestina. Diskusi yang akan dilakukan dengan Taliban menuju ke arah yang sama. Thomas West, utusan khusus AS untuk Afghanistan, berada di ibu kota Norwegia untuk melakukan pembicaraan dengan delegasi Taliban. Departemen Luar Negeri AS mengatakan delegasi Barat akan membahas “pembentukan sistem politik perwakilan, tanggapan terhadap krisis kemanusiaan dan ekonomi yang mendesak, masalah keamanan dan kontraterorisme, dan hak asasi manusia, terutama pendidikan untuk anak perempuan dan kaum perempuan.”
Apa yang akan disepakati antara kedua belah pihak, sementara para pemimpin Taliban tidak akan ketinggalan dalam penerapannya adalah pembentukan sistem politik yang fungsional dan sipil ala Barat, yang tidak ada dalam Islam, namun mencegah kembalinya Islam dan mengejar para pendukung kembalinya negara Khilafah, yang oleh Departemen Luar Negeri AS disebut sebagai “keprihatinan keamanan dan kontraterorisme.” Apa yang juga diperlukan adalah westernisasi masyarakat Afghanistan dan sekularisasinya, seperti yang dilakukan Muhammad bin Salman di tanah Haramayn, yang disembunyikan Barat di balik tabir “pendidikan untuk anak perempuan dan kaum perempuan.”
Sementara Barat memastikan bahwa para pemimpin gerakan Taliban menerapkan rencana jahat ini terhadap rakyat Afghanistan, dan saat para pemimpin ini memasarkan apa yang diperintahkan kepada mereka, Barat belum mengambil langkah praktis, sebagai cara untuk menunjukkan “niat baiknya.” Belum ada negara yang mengakui pemerintah Taliban dan bahkan menerima mereka sebagai tamu di Norwegia bukanlah pengakuan diam-diam terhadap mereka. Menteri Luar Negeri Norwegia, Anniken Huitfeldt, menekankan bahwa pembicaraan itu “bukan legitimasi atau pengakuan terhadap Taliban.”
“Bantuan internasional” untuk pemerintah boneka Ghani, yang mendanai sekitar 80 persen dari anggaran Afghanistan, tiba-tiba dihentikan, sementara Amerika Serikat membekukan aset Afghanistan senilai $9,5 miliar di bank-bank Amerika, sehingga mengakibatkan memburuknya situasi di Afghanistan secara signifikan. PBB telah memperingatkan bahwa 95 persen rakyat Afghanistan akan menderita kelaparan. Tingkat pengangguran telah meningkat secara dramatis dan gaji pegawai pemerintah belum dibayar selama berbulan-bulan di negeri-negeri yang hancur oleh banyak gelombang kekeringan. Dari data tersebut, pengamat dapat menyimpulkan bahwa kepergian gerakan Taliban ke Oslo bukan untuk negosiasi tetapi untuk melakukan instruksi. Tidak ada negosiasi karena Gerakan itu tidak memiliki apa pun untuk dinegosiasikan, seperti yang terjadi dengan para pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina, ketika mereka juga meletakkan senjata dan memperdagangkan darah para syuhada di Oslo, dan memastikan penghancuran masalah Palestina. Yang benar adalah bahwa Taliban akan menjadi seperti PLO. Para pemimpin Taliban pergi ke Oslo setelah mereka membuat berbagai janji untuk sepenuhnya tunduk kepada tentara salib dan komunitas internasional yang penuh kebencian. Kemudian mereka akan kembali ke Afghanistan untuk melakukan pengkhianatan yang diperintahkan kepada mereka.
Jika rakyat Afghanistan yang tulus dan gerakan Taliban tidak memperbaiki urusan mereka, maka pengorbanan besar yang mereka lakukan akan berakhir seperti berakhirnya pengorbanan rakyat Palestina, menjadi ejekan bagi otoritas di bawah bayonet musuh. Sebuah negara sipil yang lemah, rapuh dan miskin, yang tergantung pada persetujuan aliansi tentara salib. Dengan ini mereka telah kehilangan dunia dan akhirat, maka orang-orang yang beriman dalam gerakan dan rakyat Afghanistan harus membersihkan barisan mereka dari para pemimpin yang mengulurkan tangan ke Barat. Mereka harus kembali menerima tawaran Hizbut Tahrir dan memberinya Nusroh untuk mendirikan Khilafah yang hanya bergantung pada Allah (Swt) dan upaya Ummat Islam.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh Bilal Al-Muhajir – Wilayah Pakistan
LINK: hizb-ut-tahrir.info