Kepemimpinan Post Truth, Kekuasaan yang Menghancurkan

Mediaumat.id- Membincang seputar keterkaitan antara politik, kekuasaan dan kebohongan, Direktur Inqiyad Assoc. Prof. Dr. Fahmy Lukman, M.Hum. khawatir apabila sebuah kepemimpinan dilandasi aspek post truth (kebohongan dianggap kebenaran), bangsa ini akan hancur.   

“Ketika kemudian membangun sebuah aspek kepemimpinan dan menjadi pemimpin itu dilandasi dengan aspek yang post truth, maka saya khawatir bangsa ini nanti akan menjadi hancur,” tuturnya dalam FGD #31 FDMPB, Era Post-Truth: Politik, Kekuasaan dan Kebohongan, Sabtu (4/6/2022) di kanal YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Sebelumnya ia menguraikan, istilah post truth, atau dengan kata lain pasca-kebenaran, ternyata telah banyak digunakan secara luas terkait definisinya terhadap cara masyarakat modern dalam hal menyikapi berbagai informasi.

Malah sempat dinobatkan sebagai word of the year pada 2016. Sebabnya ketika itu, kata Fahmy, masif orang mengkaji hal-hal terkait kata dimaksud, post truth.

Sebutlah persoalan pemilihan Presiden dan Wapres Amerika Serikat (AS), serta Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang menurutnya cukup viral pada saat itu.

“Pernyataan-pernyataan Donald Trump dan Hillary Clinton itu kemudian tampak jelas bagaimana kemudian penggunaan kalimat, penggunaan kemudian kata, termasuk juga aktivitas yang cenderung terdapat di dalamnya adalah kebohongan itu menjadi satu aspek yang tidak bisa dihindari,” ulasnya.

Maknanya seperti diketahui, post truth yang berarti kebohongan bisa menyamar menjadi kebenaran, emosi dan perasaan seseorang bakal dipermainkan di dalamnya.

Simpelnya, kata Fahmy, masyarakat sering kali dibikin lebih memilih mengabaikan fakta-fakta objektif, seiring dengan penyampaian kebohongan yang apabila dilontarkan berulang hingga beberapa kali misalnya, maka akan menjadi suatu fakta kebenaran. “Ini yang tampaknya terjadi pada hari ini,” tukasnya.

Hal itu, menurutnya, serupa dengan kasus yang baru-baru ini juga viral, terkait LGBT yang terkesan dibiarkan namun di saat bersamaan, disajikan secara terus-menerus oleh pihak berkepentingan. “Ya, lama-lama bisa menjadi fakta sebuah kebenaran,” timpalnya.

Padahal di sisi lain, setiap orang memiliki versi kebenaran masing-masing di dalam memandang sesuatu, yang memang akan bisa dipengaruhi oleh aspek-aspek emosional dan keyakinan-keyakinan yang sangat individual pula.

“Satu kali kebohongan itu dilakukan maka itu salah. Dua kali kebohongan itu dilakukan itu juga salah. Tetapi kalau kemudian kebohongan itu diulang-ulang beribu kali, maka dia akan menjadi fakta kebenaran,” tandasnya.

Berlindung dari Kebenaran

Sebagaimana keterangan dalam artikel The Government of Lies karya Steve Tesich, di majalah The Nation pada 1992, kata Fahmy, penulis mengungkapkan pandangannya tentang serangkaian skandal pemerintahan AS kala itu yang pada akhirnya mendorong rakyat di sana untuk memilih berlindung dari kebenaran.

Artinya, sebutan Watergate Syndrome, ia samakan dengan seluruh faktor kotor dari upaya Presiden Richard Nixon yang nyata-nyata menjadikan masyarakat di sana mengabaikan kebenaran hingga merasa tidak nyaman.

Tragedi yang menurutnya paling memalukan itu terjadi, tatkala presiden AS ke-37 itu terbukti memenangi pemilu dengan cara-cara yang tak terpuji, kalau tak ingin dikatakan kotor.

Celakanya, lanjut Fahmy, kebohongan yang semula adalah persoalan individual, berubah menjadi konstitusional apabila menyangkut masalah pemerintahan.

Hal itu ia ungkapkan seperti halnya judul artikel dari jurnal ilmiah karya Harvey Gilmour, When We Lie to the Government, It’s a Crime, but When the Government Lies to Us, It’s Constitutional.

“Kalau kita berbohong kepada pemerintah maka itu ada sebuah kejahatan. Tetapi kalau kemudian pemerintah itu bohong kepada kita, katanya itu adalah termasuk bagian dari sesuatu yang sifatnya konstitusional,” senyumnya menerjemahkan.

Sehingga lagi-lagi, ia khawatir terhadap dampak buruk dari kebohongan yang dilakukan berkali-kali oleh orang-orang yang berada di wilayah kekuasaan. “Terus bagaimana ini? Sementara aspek itu dilakukan berkali-kali,” ujarnya kembali menukil ungkapan retoris Harvey.

Bahkan penggunaan internet sebagai media menyuarakan pendapat, menurut Dosen Riset Tahunan ke-47 Universitas New Mexico Profesor Everett Mitchell Rogers, sambungnya, membawa konsekuensi pergeseran karakter khalayak atau masyarakat umum menjadi audiens.

Maknanya, saat ini masyarakat umum itu tidak lagi menjadi objek yang pasif, namun juga dapat berperan menjadi produsen informasi.

Lebih parahnya, beber Fahmy, senada perkataan Profesor Riset dalam Sosiolinguistik Universitas Lleida Spanyol David Block di dalam bukunya Post Truth and Political Discourse, bahwa kebenaran dan penyebaran ketidaktahuan, tidak lantas kemudian menjadi post truth.

“Itu biasanya berfokus pada wacana-wacana korup dan agnotologi,” sambungnya.

Begitu juga frasa post truth yang awalnya dikenal dalam ranah kontes politik, pada akhirnya semua pihak harus menerima kenyataan betapa tipis pembatas kebenaran dan kebohongan.

“Hari ini ada batas yang sangat tipis atau garis demarkasi yang sangat tipis antara ini benar ini salah, ini baik ini buruk, ini jujur ini menipu, ini fiksi dan ini nonfiksi,” tuturnya.

Secara sederhana, ungkap Fahmy sekali lagi, masyarakat lebih memilih mencari pembenaran daripada kebenaran. “Ketika orang bicara dengan bahasa tertentu, maka sebenarnya dia berupaya untuk mempengaruhi dengan cara tertentu (pula),” ucapnya.

Oleh karena itu, menjadi tugas para intelektual di dalam konteks mencerdaskan kehidupan masyarakat luas. “Kenapa? Untuk menjelaskan kebenaran itu bedasarkan data,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: