Mediaumat.id – Terkait peristiwa penyeretan tubuh dan pelindasan kepala seorang remaja perempuan (15 tahun) oleh delapan orang geng motor (yang salah satu pelakunya adalah pacar korban) di Sukabumi beberapa hari lalu, Pemerhati Parenting Nopriadi Hermani, Ph.D. mengingatkan kepada masyarakat tentang sebuah lingkungan kehidupan yang justru merusak.
“Seperti yang sering saya sampaikan bahwa kita hari ini hidup di sebuah mesin sosial yang merusak perilaku dan mental,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Kamis (10/8/2023).
Artinya, ada banyak penyakit mental dan perilaku yang bisa dilihat. Serta, fasilitas di sekitar masyarakat yang justru secara tak langsung menjadi sarana perusak dimaksud.
Sebutlah orang tua yang notabene juga sebagai pendidik keturunannya, tetapi tak disertai kompetensi sehingga sangat berpotensi menimbulkan trauma dan sakit kepribadian (personality iilness) terhadap anak mereka.
Lebih jauh lagi, Nopriadi menyampaikan, terjadinya peristiwa ini disebabkan tak seriusnya pemerintah dalam hal mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga, orang tua dan anak misalnya.
“Tidak terlihat adanya ikhtiar pemerintah yang mampu membuat sistem sosial yang menghasilkan pribadi-pribadi shalih,” urainya, seraya menyebut peristiwa ini layaknya fenomena gunung es.
Seperti diberitakan sebelumnya, peristiwa penganiayaan atau pengeroyokan yang menurutnya satu kesadisan di dalam fenomena gunung es ini, terjadi pada Jumat (4/8) malam di Kampung Sawah Lega, Kelurahan Cikondang, Kecamatan Citamiang.
Ia menduga, para pelaku ini menderita psikopat yang berarti penyakit mental ditandai dengan kurangnya empati dan perilaku yang impulsif, apabila benar para pelaku melakukan penganiayaan tanpa perasaan kasihan sedikit pun.
Solusi
Karena itu, kata Nopriadi, diperlukan solusi, baik secara parsial maupun bersifat sistemik. “Solusi dekat dan parsial yang bisa kita lakukan adalah menjaga keluarga kita sendiri,” paparnya, mengawali.
Terutama, sebagaimana Firman Allah di dalam QS at-Tahrim ayat 6, para ayah dan ibu harus menyadari bahwa anak-anak mereka adalah tanggung jawabnya dengan cara menjadikan sebagai pribadi-pribadi bertakwa.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” demikian penggalan bunyi ayat dimaksud.
Ditambah, dengan pribadi takwa, ia berharap anak-anak memiliki kepribadian yang baik dan akan jauh dari sikap aniaya terhadap orang lain. Sedangkan bagi seorang ayah terutama, kembali menjalankan kewajibannya sebagai penjaga ketakwaan keluarganya, bukan hanya urusan nafkah.
Tak hanya itu, mereka perlu mengingat perkataan Imam Ibnul Qayyim, yaitu ‘Barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anaknya dan meninggalkannya begitu saja, berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar. Kerusakan pada diri anak kebanyakan datang dari sisi orangtua…’
Menurut Nopriadi, semua ini diperlukan agar para orang tua menjadi model yang baik untuk anak-anak mereka. “Menjadi ayah bunda yang shalih-shalihah, orang tua yang terus menerus belajar menyempurnakan diri, belajar Islam, belajar ilmu parenting dan mempraktikkannya di dalam urusan pengasuhan anak,” urainya.
Lantas berkenaan dengan solusi yang bersifat sistemik, lanjutnya, yakni dengan mengubah sistem sosial saat ini.
Dengan kata lain, menuntut pengelolaan di level negara, masyarakat dan sekolah yang kondusif untuk mencetak manusia-manusia shalih berkualitas dan berakhlak tinggi yang jauh dari sikap aniaya.
Namun, ia menekankan, agar kedua solusi tersebut bisa terwujud secara optimal, terlebih mengundang keberkahan, mau tidak mau umat harus pula bersedia menerapkan Islam sebagai asas kehidupan.
“Sistem kehidupan (Islam) ini akan mengundang keberkahan dan menghasilkan manusia-manusia terhormat, berakhlak tinggi dan berkualitas tinggi,” pungkasnya.[] Zainul Krian