Oleh: Mochamad Efendi (Pengamat el-Harokah Research Center)
Penistaan agama tidak dianggap kesalahan di alam demokrasi bahkan cenderung dilindungi karena sering dilakukan orang-orang di lingkaran kekuasaan. Mulai dari penistaan ayat al-Qur’an, ajaran Islam, simbol-simbol Islam bahkan ulama’nya dikriminalkan. Mereka yang melakukan penistaan agama seolah tidak tersentuh hukum. Pelaporan kasus penistaan agama berjalan lambat dan bahkan berhenti ditempat, tidak ada kelanjutannya. Hukum tidak tegas pada penista agama sehingga penistaan terulang tanpa ada sanksi yang tegas.
Sukmawati Soekarnoputri buka suara setelah dilaporkan oleh simpatisan Koordinator Bela Islam (Korlabi) terkait pernyataan yang dianggap membandingkan Sukarno dengan Nabi Muhammad dan al-Qur’an dengan pancasila. Kepolisian menerima laporan bernomor LP/7393/XI/2019/PMJ/Dit.Reskrimum pada 15 November 2019 dengan pelapor Ratih Puspa Nusanti. Pasal yang dilaporkan yakni tentang tindak pidana penistaan agama Pasal 156a KUHP. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20191116125129-20-448903/respons-sukmawati-usai-dipolisikan-soal-sukarno-nabi-muhammad).
Kenapa penistaan agama marak? Sebelumnya penistaan agama sudah pernah dilakukan, tapi hukum berjalan lambat bahkan berhenti dan tidak ada kelanjutan hukum. Mereka merasa kebal hukum jika berhubungan dengan penistaan agama Islam. Apakah ini tabiat asli dari sistem demokrasi yang bebas berfikir dan mengatakan apa saja tentang satu agama bahkan itu dilakukan di hadapan umum yang bisa menyakiti umat Islam. Karena tidak ada proses hukum yang jelas dari 20 kasus penistaan agama yang dilaporkan? Para penista agama merasa di atas angin dan bebas melakukan penistaan yang bisa menyakiti umat Islam yang masih punya iman di dalam dada mereka.
Bagaimana bisa al-Qur’an, kalamullah dibandingkan dengan sesuatu yang merupakan buatan manusia. Bahkan jika seluruh penduduk bumi bekerja sama untuk membuat seperti al-Qur’an bisa dipastikan tidak akan mampu membuat seperti al-Quran. Bahkan tantangan ini tertulis di dalam al-Qur’an.
Membandingkan al-Qur’an dengan yang lain adalah bentuk penistaan terhadap Allah dan umat Islam. Pasti dia akan mendapatkan hukuman yang pedih dari pemilik al-Qur’an. Namun, sebagai umat Islam tidak boleh tinggal diam dan harus mengusahakan agar dia dapat hukuman seberat-beratnya sebagai bukti keimanan kita dalam membela agama Allah.
Membandingkan Rasulullah, Muhammad SAW adalah bentuk penistaan terhadap umat Islam yang masih mempunyai iman di dalam dada mereka. Bagaimana bisa Rasulullah dibandingkan dengan orang biasa yang tidak luput dari banyak kesalahan meskipun dia banyak berjasa. Tidak beriman seseorang sebelum Rasulullah dicintai melebihi dari kedua orang tua kita, anak-anak atau keluarga kita bahkan diri kita sendiri. Membandingkan Rasulullah dengan orang lain yang mungkin kita hormati dan kita teladani saat ini adalah bentuk penistaan agama dan bagi pelakunya jelas sudah tidak punya iman lagi.
Dalam sistem demokrasi penistaan agama, dibiarkan sementara ujaran kebencian terutama pada penguasa rezim diproses cepat yang berujung pada pidana. Bahkan, pasal ujaran kebencian dijadikan pasal karet yang akan bisa menakut-nakuti atau alat penjerat hukum bagi siapa saja yang dianggap sebagai musuh rezim yang anti kritik.
Sementara, penistaan terhadap agama dianggap biasa dan bahkan dilakukan penguasa rezim. Penistaan simbol Islam, pembakaran bendera tauhid masih hangat dalam ingatan kita, namun tidak ada hukuman tegas bagi mereka. Perampasan bendera tauhid dan bahkan mengkriminalkannya dilakukan oleh aparat dan penguasa. Ajaran Islam, khilafah dikriminalkan dan dianggap ajaran berbahaya sehingga Menag memutuskan untuk merombak 155 buku yang dianggap berbahaya. Apakah ini tidak dianggap penistaan agama meskipun dilakukan oleh pejabat?
Inilah demokrasi yang tidak tegas dengan penistaan agama sehingga marak dilakukan orang-orang yang tidak mempunyai iman dalam beragama. Sebaliknya, dalam sistem Islam hampir tidak dijumpai penistaan agama karena mereka akan mendapatkan hukuman tegas dan keras bagi pelakunya. Beragama adalah hak yang paling asasi yang dilindungi oleh hukum. Dan penistanya harus dihukum seberat – beratnya agar bisa menjadi efek jera bagi yang lain untuk tidak melakukan penistaan terhadap agama.[]