Salah satu simbol besar perencana strategi Amerika Serikat, orientalis Zionis kontemporer yang terkenal, Bernard Lewis, mengatakan: “Kebiasaan kita di dunia Barat adalah: semakin banyak orang Timur yang cenderung kepada kita, maka kita semakin berpegang pada Barat untuk menjadikan diri kita contoh kebajikan dan kemajuan. Sehingga, jika mereka meniru kita, maka kita akan menganggapnya sebagai hal yang baik. Sebaliknya, jika mereka tidak seperti kita, maka kita akan menganggapnya buruk dan jahat. Kemajuan itu adalah ketika meniru kita. Namun jika mereka tidak meniru kita, maka itu adalah kemunduran dan kelemahan! Hanya saja, hal ini belum tentu terjadi, ketika dua peradaban berbenturan, maka satu mendominasi dan yang lain dihancurkan. Para idealis dan pemikir dapat berbicara dengan lancar dan mudah tentang penggabungan antara elemen terbaik dari dua peradaban. Akan tetapi hasil yang lazim dalam pertemuan ini adalah koeksistensi antara elemen terburuk dari keduanya.”
Bernard Lewis juga menulis: “Terorisme hari ini adalah bagian dari perang panjang antara Islam dan Barat. Sistem moral yang menjadi dasar Islam berbeda dengan sistem moral peradaban Kristen dan Yahudi (Barat), dan bahkan ayat-ayat Al-Qur’an membenarkan praktek kekerasan terhadap non-Muslim. Jadi, perang ini adalah perang antar agama”[1].
Pemikir strategis Amerika, Fukuyama, menulis: “Konflik saat ini bukan hanya melawan terorisme. Namun juga konflik melawan doktrin Islam fundamentalis, yang menentang modernitas Barat dan melawan negara sekuler. Ideologi fundamentalis ini mencerminkan bahaya yang lebih mendasar daripada bahaya komunis. Dengan demikian, yang diperlukan adalah perang internal Islam, sehingga ia menerima modernitas Barat, sekularisme Barat, dan prinsip Kristen: “Tinggalkan apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaisar, dan apa yang menjadi milik Allah kepada Allah.”[2]
Mantan Presiden AS, Nixon, menjelaskan apa yang dimaksud orang Amerika tentang “fundamentalisme Islam” dalam buku “al-Furshah al-Sānihah”, ia yang mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang ingin menghidupkan kembali peradaban Islam, menerapkan hukum Islam, dan menjadikan Islam sebagai agama dan negara. Jika mereka melihat masa lalu, maka mereka menganggapnya sebagai pedoman untuk masa depan, mereka bukan konservatif, tetapi revolusioner”[3]!
Dan di jalan kesaksian ini, “Margaret Thatcher”, mantan Perdana Menteri Inggris, mengatakan: “Tantangan terorisme Islam, termasuk—bahkan—mereka yang mengutuk peristiwa 11 September, Bin Laden dan Taliban, juga termasuk semua orang yang menolak nilai-nilai Barat, dan mereka yang kepentingannya bertentangan dengan Barat!”[4]
Ini adalah sejumlah kesaksian dari para pengambil keputusan strategis, pemikir, dan politisi yang memimpin kebijakan terhadap dunia Islam, dan ini adalah pandangan mereka tentang sifat konflik.
Amerika telah menetapkan spesifikasi untuk seorang Muslim moderat sebagaimana dinyatakan dalam sebuah studi dan rekomendasi dari RAND Center yang didukung oleh Departemen Luar Negeri AS pada tahun 2007, yang berlangsung selama tiga tahun dengan nama “Building Moderate Muslim Networks, Membangun Jaringan Muslim Moderat”[5] Muslim moderat, menurut resep Amerika, adalah orang yang:
1 – Berpandangan bahwa Syariah Islam tidak perlu diterapkan.
2 – Percaya pada kebebasan seorang wanita untuk memilih “pendamping”, bukan suami.
3 – Percaya pada hak minoritas agama untuk menduduki posisi tinggi di negara-negara yang mayoritas Muslim.
4 – Mendukung arus liberal.
5 – Percaya hanya pada dua arus agama Islam: “arus agama tradisional”, yaitu aliran seorang pria jalanan yang melakukan shalat dengan cara yang normal dan tidak memiliki kepentingan lain, dan “arus agama sufisme”, yaitu mereka disifati sebagai arus yang menerima pelaksanaan shalat di kuburan (!) –asalkan masing-masing menentang apa yang diusulkan oleh “gerakan Wahhabi”[6]
Sepuluh tahun sebelum George W. Bush meluncurkan tindakan keras terbarunya terhadap Islam, Karen Armstrong (seorang biarawati yang meninggalkan biara untuk menjadi seorang sarjana dan penulis terkemuka) menulis, “Tampaknya Perang Dingin melawan Uni Soviet akan segera digantikan oleh Perang Dingin melawan Islam.” Dalam bukunya yang berjudul “Muhammad: A Biography of a Prophet”, Armstrong menulis: “Di Barat ada sejarah panjang perasaan permusuhan terhadap Islam, dan permusuhan ini masih berlanjut … Prasangka terhadap Islamlah yang mendorong Sekretaris Jenderal NATO mengatakan pada tahun 1995, bahwa Islam Politik tidak kurang berbahaya bagi Barat daripada komunisme.”
Eugene Rostow[7] berkata: “Kita harus menyadari bahwa perbedaan antara kita dan bangsa Arab bukanlah perbedaan antar negara atau bangsa. Namun perbedaan antara peradaban Islam dan peradaban Kristen …. Keadaan sejarah menegaskan bahwa Amerika adalah bagian integral dari dunia Barat, filosofi, kepercayaan, dan sistem kehidupannya. Sehingga inilah membuatnya bermusuhan dengan dunia Islam Timur dengan filosofi dan kepercayaan yang mencerminakan agama Islam. Dan Amerika hanya bisa bertahan dengan posisi ini, yakni di barisan anti-Islam, serta berada di sisi dunia Barat dan negara Zionis. Sebab, jika Amerika melakukan sebaliknya, maka Amerika akan mengingkari bahasa, filosofi, budaya, dan institusinya.”[8]
Menurut sejarawan dan pemikir, Samuel Huntington, bahwa seorang pejabat senior di pemerintahan Clinton menggambarkan Islam sebagai pesaing global bagi Barat. Seperti yang kemudian ditulis oleh Huntington, “Selama 1980-1995, Amerika Serikat melakukan 17 operasi militer di Timur Tengah, yang menurut Departemen Pertahanan AS, semuanya ditujukan terhadap kaum Muslim. Ini adalah jumlah yang belum tercatat dalam sejarah militer Amerika Serikat dalam melawan bangsa manapun dari peradaban lain.”
Huntington menulis dalam bukunya yang terkenal “The Clash of Civilizations”: “Masalah bagi Barat bukanlah masalah fundamentalis Islam, tetapi masalah dengan Islam itu sendiri, yang memiliki peradaban berbeda, yang penganutnya percaya pada keunggulannya … Masalahnya adalah di Barat sendiri, dengan peradaban yang berbeda, yang pemiliknya percaya pada superioritas dan validitasnya sebagai sistem global, di mana mereka ingin memaksakan peradaban ini di dunia.“[9] Dan mari kita tekankan frasa “memaksakan peradaban ini di dunia”.
Ketika Menteri Luar Negeri AS yang arogan, Madeleine Albright, ditanya oleh presenter CBS Lesley Rene Stahl, “Apakah Anda menganggap darah setengah juta anak Irak untuk memusnahkan semua korban itu sepadan dengan operasinya?” Sang arogan dari Demokrat, Albright menjawab: “Saya pikir ini adalah pilihan yang sangat sulit. Namun terkait harga, seperti yang kita lihat, adalah sepadan.”[10]
Diketahui bahwa operasi itu demi minyak, kepentingan perusahaan-perusahaan besar Amerika, dan untuk memperketat kontrol, kedaulatan, dan kolonisasi wilayah oleh Amerika, serta untuk memaksakan cara hidupnya di Irak dan rakyatnya.
“Mereka tahu kami memiliki negara mereka. Kami memaksakan pada mereka cara mereka hidup dan berbicara, dan itulah hal hebat tentang Amerika saat ini. Sungguh, itu adalah hal yang baik, terutama ketika ada begitu banyak minyak yang kami butuhkan.” Mayor Jenderal William Looney, Komandan Angkatan Udara AS yang mengebom Irak.[11]
Pada tanggal 7 Januari 1991, mantan Presiden AS Richard Nixon menjelaskan di New York Times, “Kami pergi ke sana bukan untuk membela demokrasi, sebab Kuwait bukan negara demokratis, dan tidak ada negara demokratis di kawasan ini, juga kami pergi ke sana bukan untuk membela legitimasi internasional. Namun kami pergi ke sana dan kami harus melakukan itu, karena kami tidak mengizinkan siapa pun menyentuh kepentingan vital kami.”[12] [Tsair Salama Abu Malik – Majalah Al-Waie (Arab), Edisi 420, Tahun ke-XXXVI, Muharram 1443 H./Agustus 2021 M.] (Bersambung)
Daftar Bacaan:
[1] Bernard Lewis, Al-Gharb wa Al-Syarq Al-Ausath, Ta’rib Nabil Shubhi, Beirut (tanpa tahun), hlm. 60. Dikutip dari Nusyuul Hadharah al-Islamiyah, karya Al-Ustadz Ahmad al-Qashash. Dalam “Newsweek”, 14 Januari 2004 M.
[2] Dalam edisi tahunan “Newsweek”, Desember 2001-Februari 2002.
[3] Nixon, al-Furshah al-Sānihah, hlm. 140-141, diterjemahkan oleh Ahmed Sidqi Murad, 1992; al-Ushūliyah baina al-Gharbi wa al-Islām, Dr. Muhammad Imarah, hlm. 15.
[4] Al-Ushūliyah baina al-Gharbi wa al-Islām, Dr. Muhammad Imarah.
[5] http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monographs/2007/RAND_MG574.pdf
[6] Laporan “RAND 2007” sangat berbahaya …. Detail serius tentangnya yang harus Anda ketahui! Abdullah bin Muhammad Zuqail. Sayyid Qutb rahimahullah menulis sebuah artikel pada tahun 1952 berjudul “Islam Amerikaniy”, di mana ia mengatakan: “Islam yang diinginkan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah bukanlah Islam yang menentang kolonialisme, bukan Islam yang menentang tirani, tetapi hanya Islam yang menentang komunisme! Mereka tidak ingin Islam memerintah, dan mereka tidak mampu jika Islam memerintah, karena ketika Islam memerintah, itu akan menciptakan formasi baru bagi masyarakat, dan itu akan mengajarkan masyarakat bahwa mempersiapkan kekuasaan adalah kewajiban, dan bahwa komunisme seperti kolonialisme adalah epidemi. Keduanya adalah musuh, dan keduanya adalah agresi.” Sayyid Qutb, Juni 1952, dari kitab “Dirāsāt Islamiyah”, hlm. 119.
[7] Kepala Departemen Perencanaan di Departemen Luar Negeri AS, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Keamanan Nasional, dan penasehat mantan Presiden AS Lyndon Johnson untuk urusan Timur Tengah sampai tahun 1967 M.
[8] Jalal Al-Alam, Qādatul Gharb Yaqūlūn: Abīdū al-Islama, Dammirū Ahlahu (Para Pemimpin Barat Mengatakan: Hancurkan Islam, Habisi Umatnya), Kairo, Al-Mukhtār Al-Islami Liththibā’ah, Cetakan ke-2, hl.. 24-25; Zhāhirah al-Khaufi min Al-Islam (Al-Islāmūfūbiā) fi Al-Gharb, Asbābuhā, Mazhāhiruhā, wa Natāijuhā, Iyad Shalah Syakir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm.50.
[9] Abdul Hayyi Zallum: Al-Islām … Al-‘Aduwwu al-Jadīd ba’da al-Syuyūiyyatu wa al-Wilāyāt al-Muttahidah wa Hulafāuhā Huwa Farrākhah al-Irhāb, Islam …. Musuh Baru Setelah Komunisme, Amerika Serikat serta Sekutunya Adalah Peternak Terorisme.
[10] Lihat wawancara di tautan ini, juga John Pilger: The New Rulers of the World, hlm. 80.
[11] John Pilger: The New Rulers of the World, hlm. 80.
[12] Amrīkā al-Mustabiddah wa Siyāsah al-Saitharah ‘ala al-‘Ālam (al-‘Aulamah), Michel Bugnon-Mordant, hlm. 142.