Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si | Koordinator LENTERA
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan ini terhitung mulai 1 Juli 2020 mendatang. Hal tersebut berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sejumlah mekanisme iuran diubah dalam aturan baru tersebut, termasuk juga soal denda 5% bagi yang telat membayar iuran mulai 2021 nanti.
Dalam Perpres tersebut, disebutkan rincian kenaikannya. Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 untuk kelas III sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500. Kendati demikian, pada 2021, subsidi yang dibayarkan pemerintah berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta (dari Rp 42.000 tersebut) adalah Rp 35.000.
Tak terhindarkan, langkah Jokowi ini pun panen kritik. Pasalnya, kebijakannya diluncurkan di tengah pandemi Covid-19. Terlebih, kebijakan itu juga dianggap melawan putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya membatalkan peraturan presiden yang mengatur soal rencana kenaikan iuran BPJS.
Sebagaimana diketahui, pada Oktober 2019, Jokowi sudah pernah menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan tersebut pada akhir Februari 2020. Jumlah kenaikan iuran dalam perpres yang dibatalkan MA itu memang sedikit lebih besar dibanding perpres terbaru. Perpres 75/2019 itu juga tak mengatur skema subsidi bagi peserta kelas III layaknya perpres saat ini.
Namun demikian, kenaikan iuran BPJS ini pada akhirnya tetap layak bisa disebut malkonstitusi. Pun tidak populis, alih-alih humanis. Pasalnya, rakyat sedang dalam keprihatinan terdampak pandemi. Belum lagi dengan harga BBM yang enggan turun dan tarif listrik yang juga sempat berlipat-lipat. Otomatis beban ekonomi rakyat kian bertambah. Padahal keamanan mereka dari aspek kesehatan juga tak sepenuhnya terjamin akibat miskoordinasi penanganan wabah di sana-sini.
Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kenaikan iuran ini demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan. Ditambah lagi alasan Istana, bahwa pemerintah katanya juga sedang dalam kondisi sulit. Karena sejak pandemi, pendapatan negara berkurang.
Tapi, apakah selama ini pemerintah juga sudah serius memikirkan rakyat? Tiadakah secuil empati untuk kami? Alih-alih kebijakan lockdown, PSBB saja kacau balau. Eh, malah sempat juga hendak mengambil Herd Immunity sebagai kebijakan penanganan pandemi. Belum lagi saling silang boleh/tidaknya mudik lebaran.
Sementara itu, ancaman kemiskinan, kelaparan, bahkan kematian di tengah wabah, setiap detik membayangi rakyat. Tekornya ekonomi keluarga, peningkatan angka pencurian akibat mereka yang lapar, ancaman kriminalitas pasca asimilasi napi, badai PHK, dsb, itu hanya sekelumit beban kehidupan masyarakat akar rumput di tengah pandemi. Yang pemerintah pun bahkan maldata untuk distribusi bantuan sosial (bansos), hingga banyak yang tidak tepat sasaran.
Jika pemerintah meminta rakyat ‘mengerti’ keadaan Istana, lantas apakah Istana juga kepo soal jungkir balik di balik gubuk reyot kami?
Dan juga ke mana larinya utang jutaan dolar dari lembaga-lembaga rentenir internasional itu? Bukankah utang itu konon dianggarkan untuk menstimulasi ekonomi di tengah pandemi? Tapi mana wujudnya?
Padahal, jika dibandingkan dengan negara lain, stimulus ekonomi yang diberikan oleh pemerintah Indonesia sangatlah kecil. Rendahnya paket stimulus Indonesia ini juga diperparah dengan sedikitnya jumlah tes Covid-19 yang dilakukan sehingga semakin sulit bagi Indonesia untuk ‘meratakan kurva’.
Rendahnya paket stimulus yang diberikan oleh pemerintah Indonesia juga dipengaruhi dengan anggaran belanja pemerintah. Di mana pada 2019, angka pengeluaran belanja pemerintah Indonesia hanya 16,9% dari PDB. Sementara negara lain, pengeluaran belanja mereka di atas 20% dari PDB. Artinya, sebanyak sekitar 93% PDB Indonesia digunakan swasta. Rupanya stimulus itu ‘macet’ di lingkaran oligarki di sekeliling penguasa selaku pucuk pimpinan negeri, sehingga tidak sampai ke akar rumput.
Tapi coba saksikan! Untuk sektor-sektor kemashlahatan umum, pemerintah masih begitu tega menarik dana-dana abadi rakyat, bahkan hingga ke sudut-sudut tersembunyi kantong pribadi mereka. Sebagaimana yang terjadi dengan iuran BPJS ini, juga ketiadaan penurunan harga BBM dan kenaikan tarif listrik baru-baru ini.
Jadi kembali lagi menjawab judul. Dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, sebenarnya itu statusnya dari rakyat sebagai bentuk infak, atau hanya bentuk lain agar rakyat dapat terus dipalak?[]