Mediaumat.id – Krisis ekonomi yang melanda Pakistan dinilai Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (Hilmi) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. karena Pakistan terkena jebakan utang dari Cina. “Kalau kita lihat Pakistan termasuk negara yang boleh dikatakan kena jebakan utang dari Cina,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (7/1/2023).
Menurut Julian, pola yang terjadi di seluruh negara yang terkena krisis adalah sama, yaitu terjadi gejolak ekonomi kemudian negara tersebut mengandalkan utang dari kreditur. Kreditur tersebut ada dari IMF, World Bank dan negara-negara donor yang salah satunya Cina.
Julian melihat, utang yang diberikan Cina itu memberikan persyaratan yang cukup ketat. Di antaranya tingkat bunga yang tinggi dan disalurkan pada proyek-proyek yang kurang penting untuk dilakukan.
Julian menyebut, dalam konteks kapitalisme atau ekonomi liberal ada istilah no free lunch (tidak ada makan siang gratis). Sehingga setiap pinjaman yang dikucurkan memberikan persyaratan-persyaratan tertentu. Dan pasti merugikan negara peminjam. “Ini yang jadi malapetakanya,” ucap Julian.
Ia memandang, pinjaman-pinjaman yang diberikan negara-negara besar atau lembaga kreditur itu bukan solusi tapi adalah jebakan utang. Sebab ketika memberikan pinjaman mereka akan memberikan persyaratan-persyaratan yang akan menambah masalah baru bagi negara peminjam, misalnya mencabut subsidi dan privatisasi. “Seyogyanya utang luar negeri itu menjadi alat penjajahan modern ya,” tuturnya.
Dalam konteks ini, Julian mengatakan sistem ekonomi Islam bisa dijadikan sebuah solusi. Sebab jika menggunakan sistem kapitalis hanya akan menguntungkan lembaga kreditur dan negara-negara pemberi utang.
Julian menuturkan, dalam ekonomi Islam melarang pinjaman yang akan memberikan mudharat. Faktanya pinjaman luar negeri itu ada bunga yang tinggi dan intervensi negara kreditur. Kemudian dalam ekonomi Islam, untuk masalah permodalan bisa mengandalkan sektor-sektor lain diantaranya optimasi kepemilikan umum.
“Nah kita tahu bersama, negara-negara yang justru terkena krisis sebetulnya secara sumber daya alam kepemilikan umum mereka adalah negara kaya. Tapi masalahnya kekayaan itu justru dinikmati oleh para kapitalis,” pungkas Julian.[] Agung Sumartono