Mediaumat.id – Pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, yang mengeluhkan belum ada pemodal besar untuk membantunya dalam menghadapi kontestasi nasional mendatang, mendapat tanggapan dari Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana.
“Keluhan Surya Paloh menunjukkan adanya pragmatisme politik. Dia ingin menunjukkan bahwa di belakang Anies Baswedan, calon presiden yang diusung Nasdem, tidak ada kekuatan oligarki di belakangnya,” bebernya dalam Live Perspektif PKAD: Gawat!!! Kontestasi Nasional dalam Cengkeraman Oligarki, Selasa (15/11/2022) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Agung menuturkan, logika pragmatisme orang Indonesia sangat senang dengan pendekatan terzalimi dan benci dengan perspektif oligarki. “Tokoh atau orang yang terzalimi akan mendapatkan posisi tawar yang jauh lebih tinggi dalam kontestasi politik. Ditambah jika tokohnya memiliki elektabilitas tinggi seperti Anies Baswedan,” urainya.
Agung juga menyampaikan, keluhan Surya Paloh tersebut justru menunjukkan kepada publik bahwa dalam konteks election (pemillihan) di negeri ini ada pemodal besar yang ikut bermain. “Walau ada nilai positif untuk Anies Baswedan, namun pernyataan Surya Paloh itu semakin menunjukkan secara tidak langsung selama ini ada kekuatan pemodal dalam proses pemilihan di Indonesia,” ungkapnya.
Agung mengutip data yang disampaikan oleh KPK dan Mahfud MD tentang hal ini. “Menurut Mahfud MD, 92 persen pilkada di Indonesia didanai cukong. Sedangkan KPK menyebut angka yang lebih kecil yaitu hanya 82 persen saja pilkada di Indonesia yang didanai cukong,” urainya.
Masih menurutnya, Jefrey Winters pernah mengadakan seminar pada tahun 2011 di Universitas Negeri Jakarta dengan judul Samudera Oligarki di Sekitar Jokowi. “Jefrey mengungkapkan banyak teori bahwa oligarki tidak bisa dilepaskan dari kondisi dunia saat ini,” tuturnya.
Sumber Dana Oligarki
Agung mengutip pendapat Eep Saifullah Fatah dalam sebuah seminar yang mengungkapkan bahwa di belakang capres dan cawapres di Indonesia ada oligarki. “Termasuk munculnya film Sexy Killer yang mengambarkan perusahaan-perusahaan tambang di sekitar pencalonan Jokowi dan lainnya. Ini semakin menguatkan bahwa oligarki ada dalam setiap pilkada,” tambahnya.
Agung mengungkapkan, pilkada dalam sistem demokrasi berbiaya tinggi. Para pelaku oligarki yang ikut bermain dalam kontestasi politik akan mengambil dari sumber daya alam karena ini adalah komoditas yang paling mudah dikuasai. “Bahkan para pelaku oligarki juga ikut terjun langsung dalam pilkada dengan mendaftar sebagai calon kontestannya,” tambahnya.
Agung menilai, para pelaku oligarki yang ikut pilkada menunjukkan keserakahan oligarki untuk semakin menguasia kekayaan negeri ini. “Adanya prinsip freedom of property atau kebebasan kepemilikan membuat pelaku oligarki semakin berkuasa atas sumber daya alam di negeri ini. Setidaknya ada enam jenis yang dikuasai oleh para oligarki yaitu migas, batu bata, emas, perikanan, kehutanan, dan nikel. Nilai dari hasil ekspolitasi sumber daya alam ini sangat besar,” bebernya.
Solusi
Padahal dalam Islam, menurut Agung, ada pengaturan yang jelas tentang pengelolaan sumber daya alam. Agung mengutip sebuah hadits tentang pengelolaan kepemilikan, yang artinya, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api (energi)” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
“Hadist ini secara gamblang mengatakan bahwa kekayaan alam tidak boleh dikuasai segelintir orang,” jelasnya.
Agar tidak ada oligarki lagi karena adanya kebutuhan biaya politik yang tinggi, Agung menawarkan sistem Islam sebagai solusinya. Masih menurutnya, hadits tentang pengelolaan sumber daya alam tadi harus didukung oleh sebuah sistem yang akan merealisasikannya.
“Dengan sistem Islam ini akan mampu mengelola kepemilikan umum serta menghilangkan oligarki yang berkelindan dengan kontestasi politik. Islam juga harus dijadikan gaco atau senjata untuk melawan ideologi kapitalisme,” pungkasnya.[] Erlina YD