Keliru! Bakar Bendera Tauhid Normal Diqiyaskan dengan Bakar Al-Qur’an Robek

Mediaumat.news – Dalih Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Sulton Fatoni yang menganggap anggota Banser yang membakar bendera tauhid bertindak mengamankan bendera itu seperti mengamankan Al-Qur’an yang rusak dinilai keliru.

“Keliru sekali. Dan apa masalahnya? Itu bendera dalam keadaan berkibar kemudian direbut. Kalau diqiyaskan kepada Al-Qur’an yang robek jelas tidak pas,” tegas Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada Mediaumat.news, Selasa (23/10/2018).

Menurut Ismail, karena ini bukan bendera yang sobek, bukan bendera yang koyak, tidak ada juga salah tulis melainkan ini bendera normal, jelas tidak pada tempatnya kalau sampai diperlakukan seperti itu. Apalagi kemudian dibakar, apalagi ketika membakarnya disambut dengan gembira sambil bernyanyi berteriak-teriak.

Politik Islam

Adapun pernyataan Sulton Fatoni yang menyebut kalimat tauhid itu untuk dzikir sedangkan HTI telah menyalahgunakannya untuk tujuan politik, dinilai tidak pas juga.

“Hizbut Tahrir tidak pernah menyalahgunakan bendera itu. Hizbut Tahrir selama ini justru mengenalkan Liwa dan Rayah. Mungkin sudah banyak orang yang tahu bahwa Liwa dan Rayah itu bentuknya seperti itu. Tetapi mungkin lebih banyak lagi masyarakat atau umat yang belum tahu. Menjadi kewajiban kita untuk memberi tahu. Nah, HTI itu melaksanakan kewajiban tersebut,” kata Ismail.

Ismail juga menegaskan, Hizbut Tahrir mengenalkan Rayah (panji tauhid hitam) dan Liwa (bendera tauhid putih) itu untuk kepentingan dakwah. Dakwah itu menyampaikan ajaran Islam. Menyampaikan ajaran Islam dari A sampai Z, dari persoalan akidah sampai persoalan syariah. Dan di dalamnya termasuk soal-soal ekonomi, sosial budaya, politik, dan khilafah. Khilafah itu ajaran Islam.

“Kalau ada kepentingan politik Hizbut Tahrir, kepentingan politiknya adalah bagaimana tegaknya syariah dan khilafah. Itulah kepentingan politik Hizbut Tahrir dan itulah politik Islam,” bebernya.

Ia juga menegaskan, bendera tauhid tak mesti hanya dikibarkan saat dzikir tetapi dikibarkan dalam berbagai kesempatan untuk menunjukkan eksistensi kaum Muslimin dan kemuliaan Islam, seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW dan juga diteladankan para sahabat.

Ismail mencontohkan Rayah itu di antaranya dipakai oleh para sahabat di masa perang bukan hanya zikir. Dan sahabat mempertahankan Rayah itu luar biasa dengan jiwa dan raganya.

“Sebagaimana yang kita baca dalam kisah Perang Mu’tah. Ja’far bin Abi Thalib mempertahankan dengan tangan kanannya, kemudian ditebas. Lalu dipegang pakai tangan kiri. Tangan kiri ditebas, lalu ditahan oleh tubuhnya, tubuhnya dibelah menjadi dua. Lalu Rayah tersebut dipegang Abdullah bin Rawahah. Abdullah juga meninggal ditebas, kemudian Rayah diambil dan dipegang oleh Khalid bin Walid. Sangat jelas, Rayah itu menunjukkan identitas kemuliaan umat Islam, karena itu juga wajib dijaga dengan sekuatnya,” paparnya.

Hubungannya dengan Allah SWT

Jadi, pembakaran bendera tauhid yang dilakukan Banser itu sejatinya bukan pembakaran bendera HTI.

“Yang dibakar kemarin itu bukan bendera HTI. HTI tidak punya bendera. Yang dibakar kemarin itu adalah Rayah. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits “Rayah [panji] Rasulullah SAW berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih. Di atasnya tertulis Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh,” beber Ismail.

Ia menegaskan, membakar Rayah berarti membakar kalimat tauhid, membakar kalimat Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasulûlLâh. Ini adalah kalimat yang mulia. Kalimat yang menjadi inti dari risalah Islam.

“Kalimat yang dengan itu kita menjadi Muslim, kalimat yang dengan itu kita menjadi mulia, kalimat yang dengan itu insya Allah kita mati,” ungkapnya.

Karena itu sungguh sangat aneh ada orang yang begitu teganya, begitu beraninya membakar bendera itu. “Jadi ini tidak ada hubungannya dengan HTI. Ini hubungannya dengan pembakaran kalimat tauhid dan ini hubungannya dengan pemilik kalimat itu yakni Allah SWT,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini: