Kekeliruan Fukuyama dalam Artikel Bayangan Panjang 9/11

Situs web American Purpose menerbitkan sebuah artikel oleh pemikir Francis Fukuyama tentang serangan 11 September, dan kegagalan Amerika untuk menerapkan model pembangunan negara modern di Irak dan Afghanistan. Saya tidak ingin membahas yang paling menonjol dari apa yang dia sebutkan, melainkan saya ingin mengomentari masalah pembangunan negara, yang ia sampaikan sebagai tanggapan atas kegagalan Amerika dalam membangun negara-negara yang didudukinya, yaitu Irak dan Afghanistan. Kami ingat pernyataannya yang paling menonjol: “Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pendudukan yang begitu lama ini,  khususnya berkaitan dengan sulitnya membangun institusi politik yang berkelanjutan, yang diyakini perlu untuk mencegah munculnya kembali ancaman teroris.

Dalam hal ini, ada tiga tujuan yang berpotensi untuk dilakukan: Pertama, membangun negara yang dapat menjalankan monopoli kekuasaan legitimasi atas wilayah negara. Kedua, menciptakan negara modern yang memiliki kemampuan menyediakan layanan dasar secara impersonal. Dan ketiga, menjadikan negara tersebut bertanggung jawab secara demokratis kepada warganya.

Kemudian ia menjelaskan bahwa membangun demokrasi adalah yang paling mudah untuk dicapai dari ketiga tujuan itu. Afghanistan dan Irak telah mengadakan pemilihan atau (peristiwa yang seperti pemilihan). Bahkan para pemimpin politik dipilih atas dasar persaingan politik yang nyata, namun kedua negara itu ditimpa oleh korupsi dan penipuan yang merajalela, meski demikian pemilihan tersebut tetap memberikan hasil yang hampir mencerminkan kehendak rakyat di setiap negara.”

Dia juga menyatakan: “Membangun negara modern dengan kapasitas tinggi dan tingkat korupsi yang rendah—apa yang saya gambarkan di tempat lain sebagaimana (capaian Denmark)—terbukti sepenuhnya mengungguli kemampuan Amerika Serikat dan sekutunya untuk mencapainya. Setiap organisasi pembangunan di dunia memiliki pemikiran seperti Denmark dalam menjalankan program tata pemerintahan yang baik dan anti-korupsi. Akan tetapi negara Denmark yang sebenarnya membutuhkan waktu sekitar delapan ratus tahun untuk mencapai posisinya sekarang. Dan kita tidak seharusnya mengharapkan terwujudnya hasil yang serupa di tempat termiskin dan paling kacau di dunia dalam waktu singkat.”

Kemudian dia mengaitkan kegagalan tersebut dengan beberapa faktor, termasuk sejarah dan geografi, dimana pemerintah yang dipasang oleh Amerika di Kabul tidak pernah mencapai legitimasi yang dibutuhkan, meskipun ada pemilihan umum, menurutnya. Lalu dia melontarkan pertanyaan berikut yang kemudian dijawab sendiri: Mengapa pemerintah Amerika melakukan kesalahan ini sejak awal? Jawaban gampangnya adalah kesombongan.

Tidak ada keraguan bahwa seorang pemikir seperti Fukuyama memiliki pola berpikir yang hebat dan diperhitungkan oleh banyak pemikir di seluruh dunia. Namun bagi saya, tampaknya ia ingin mengurangi dampak perang Amerika terhadap negara-negara Islam, serta besarnya kemunduran dan kegagalan akibat arogansinya pada saat itu, bukan karena pemikiran strategis yang dapat dijalankan, seperti yang dikatakan Kissinger dalam sebuah artikel tentang alasan kegagalan Amerika di Afghanistan, bahwa Amerika “menetapkan tujuan yang tidak dapat dicapai.” Mungkin berangkat dari pemikiran ini (bahwa ilmu pengetahuan itu memilki pemikiran perintis dan baik untuk semua bidang kehidupan, tidak hanya untuk politik), artinya bahwa siapa pun yang menetapkan tujuan yang tidak dapat dicapai, sangat wajar untuk gagal, mengingat tujuannya sangat tidak realistis. Sementara itu, realitas adalah sumber pemikiran, sebagaimana yang dibahas oleh Barat dalam arti bahwa politik adalah seni kemungkinan, bahwa realitas adalah sumber pemikiran, bukan subjek perubahan, dan yang benar bahwa kemungkinan adalah tetap kemungkinan dari segi pertimbangan, dan bukan dari segi realitas. Terkadang ada perkara yang secara realitas tidak mungkin, namun dalam hal pertimbangan dan pemikiran, itu adalah solusi yang dengannya realitas harus diubah. Kalau tidak, bagaimana kita bisa memahami, misalnya, pada awal pendudukan Amerika di Afghanistan, bahwa pemikiran tentang penarikan dan kegagalan, secara realistis tidak mungkin, meskipun itu ada dengan kuat dalam masalah pertimbangan, bukan dalam hal angan-angan? Bahkan dari segi ketersediaan alasan dan elemen pemikiran, dengan keinginan berubah dalam tindakan kolektif, dan pembahasan masalah ini mungkin memakan waktu lama, namun ia bukan subjek pembahasa, sehingga yang ingin saya bahas adalah ide Fukuyama tentang masalah membangun negara, tujuan realistis, dan kemampuan negara-negara pendudukan untuk melakukan perubahan di dalamnya, serta membangun negara percontohan.

Membangun negara itu kembali ke pemikiran yang diyakini oleh masyarakat, sehingga pandangan mereka menjadi satu, yang darinya perasaan mereka terbentuk, dan mereka membangun otoritas yang akan menerapkan pandangan yang telah menyatukan mereka itu, atau mereka diam terhadap orang yang mengatur mereka untuk melindungi dan menerapkan pemikiran tersebut. Sehingga masyarakat mendukung pemikiran itu karena ia adalah pemikiran dan pandangan hidup mereka. Dengan demikian, penerimaan mereka terhadap otoritas tertentu adalah terkait erat dengan sejauh mana hubungan otoritas itu dengan pemikiran.

Jika sistem itu berasal dari pemikiran mereka, maka mereka akan mendukungnya, tidak peduli kesulitan dan bahaya yang harus ditanggungnya, bahkan mereka tidak akan meninggalkannya, kecuali jika datang kekuatan brutal yang lebih kuat dari mereka, dan kekuatan itu mampu menghapus sistem yang mewakili mereka. Ini adalah faktor penghancur yang dapat dilakukan oleh kekuatan brutal apa pun, tetapi faktor pembangun yang sedang kita bicarakan tidak akan pernah ada melalui pemikiran yang asing bagi masyarakat yang tidak mereka imani. Sebaliknya, mereka memiliki pandangan yang sama sekali berbeda darinya. Jadi, bagaimana masyarakat bisa menerima pemikiran baru, sementara mereka mengimani pemikiran yang berbeda? Dan bagaimana mereka bisa menerima sistem yang dibuat oleh penjajah berdasarkan pemikiran yang bertentangan dengan pandangan dan akidah mereka? Apalagi ada pandangan yang negatif terhadap penjajah dan para anteknya.

Amerika akan dapat mendirikan negara modern untuk negara yang didudukinya hanya dalam kasus-kasus berikut:

1- Jika Amerika mampu mengubah pandangan dan pemikiran masyarakat dengan pemikiran baru, maka masyarakat akan menerima sistem baru dan otoritasnya secara alami, tanpa keraguan.

2- Jika negara yang diduduki itu tidak memiliki pemikiran yang menyeluruh dan komprehensif tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, bahkan mereka mengemban pemikiran yang tidak memandang pemikiran baru itu dengan pandangan permusuhan dan pertentangan secara ideologi, atau mereka justru mengemban pemikiran penjajah itu sendiri. Mungkin inilah alasan yang mendorong Fukuyama melalui pembacaannya tentang realitas sejarah dalam pendudukan Jepang, yang memang tidak mengembang pemikiran menyeluruh, melainkan mengemban pemikiran tertentu yang tidak bertentangan dengan pemikiran baru. Jadi kebangkitan Jepang, yang mengemban pemikiran kapitalisme, maka Jepang bangkit berdasarkan pemikiran itu dari dasarnya. Adapun Jerman, maka aslinya Jerman mengemban pemikiran kapitalisme, dan bangkit berdasarkan pemikirannya. Jadi, keberhasilan setiap penjajah di negara mana pun, adalah jika negara itu tidak memiliki pandangan yang menyeluruh dan komprehensif, seperti negara-negara di Afrika. Adapun masalah rusaknya kelas politik, maka itu hanyalah masalah cabang dari sekian masalah penting, dan itu bukan satu-satunya sebab untuk membangun negara modern. Namun, masalahnya sangat berbeda dengan negara-negara Islam, sebab rakyatnya mengemban pemikiran eksistensial yang menyeluruh dan komprehensif, serta sistem kehidupan yang komprehensif bagi kehidupan yang berhubungan dengan semua tindakan manusia. Sehingga mereka tidak membutuhkan pemikiran baru, hubungan dan undang-undang baru, atau otoritas yang bertentangan dengan pandangan mereka. Sekiranya bukan kerena kekuatan brutal, yang  merupakan ikatan tidak wajar terkait ketergantungan para antek pada penjajah, niscaya razim antek ini tidak akan berdiri lama. Apa yang terjadi di Afghanistan adalah bukti dan contoh paling hangat, dimana rezim melarikan diri dengan hengkangnya kekuatan brutal itu.

Jadi, apa yang telah saya sebutkan itu adalah bahwa pemikiran membangun negara tidak datang melalui kekuatan militer, kecuali jika bergantung pada kekuatan brutal, namun sekalipun berhasil, ia tidak akan dapat bertahan lama, sebab pondasi yang benar kembali pada keimanan masyarakat pada pemikiran eksistensial tertentu, bukan dengan memaksakan suatu pemikiran yang bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Oleh karena itu, kegagalan dalam persoalan ini, merupakan kegagalan yang tak terelakkan, betapapun kuatnya penjajah dan lemahnya kekuatan yang lain. Sehingga menjadi keniscayaan bagi masyarakat, selama keyakinan mereka pada pemikirannya kuat dan mengakar, untuk bergerak melawan pemikiran baru, orang-orang yang di belakangnya, serta alat-alatnya. Keberhasilan Amerika itu nyata dalam kemampuannya untuk menghancurkan sementara, sebagai kekuatan yang brutal, namun Amerika tidak memiliki pemikiran untuk membangun bersama dengan umat yang bangga dengan pemikiran dan visinya, serta bercita-cita untuk mengembalikan kejayaannya. Jadi, tujuan itu tidak mungkin ada, khususnya terkait dengan umat Islam. Sehingga setiap pemikiran asing yang masuk akan dihancurkan oleh akidah Islam, juga setiap penjajah dan alat-alatnya akan berakhir di tangan umat Islam, meski itu terjadi beberapa saat kemudian. [Hasan Hamdan]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 20/09/2021.

 

Share artikel ini: