Oleh: Kusman Sadik (@kusmansadik)
Beberapa waktu lalu ada kegaduhan di berbagai perguruan tinggi. Kegaduhan tersebut tidak bersumber dari perdebatan akademik yang memang lumrah dan fitrah di kalangan sivitas akademika.
Kegaduhan yang beraroma politik itu justru bermula dari pernyataan seorang petinggi di negeri ini yang berniat memberikan sanksi bagi para dosen yang terlibat pada ormas tertentu yang telah dicabut ijinnya secara sepihak oleh pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Langkah petinggi tersebut kelihatan sangat terburu-buru dan tidak bijak.
Pertama, Perppu yang menjadi dasar pencabutan ijin ormas tersebut masih menuai kritikan dan kecaman dari berbagai pihak. Bahkan berbagai elemen masyarakat, termasuk diantaranya dari ormas Islam dan aliansi advokat, sedang mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Mestinya petinggi di negeri ini berpikir bijak untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan.
Itu juga untuk memberikan contoh kepada mahasiswa bagaimana bersikap dan menghargai hak orang lain yang sedang menjalani proses hukum di MK. Mahasiswa tidak saja belajar dari text-books tapi juga bisa belajar dari para petinggi di negeri ini. Tentu akan menjadi musibah manakala contoh yang mereka peroleh justru sikap ketidakadilan dan ketidakbijakan.
Kedua, para akademisi kampus turut memberikan kecaman pada Perppu tersebut. Jimly Asshiddiqie, seorang akademisi dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Perppu tersebut merupakan produk kontroversial. Menurutnya tidak ada kondisi genting yang memaksa pemerintah harus mengeluarkan Perppu (metrotvnews.com, 15/7).
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengkritik beberapa pasal dalam Perppu itu, diantaranya adalah ditiadakannya proses pengadilan dalam pembubaran ormas, sehingga melanggar kebebasan berserikat (tempo.co, 16/7).
Kecaman keras juga datang dari Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, Perppu ormas tersebut lebih kejam dari penjajah Belanda. Karena di dalam Perppu itu diatur sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang menjadi anggota atau pengurus ormas yang dituding bertentangan dengan Pancasila. Sanksinya sangat luar biasa, yakni dapat dipidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun (jpnn.com, 14/7).
Ketiga, tidak hanya para akademisi secara personal, lembaga kajian hukum dari berbagai perguruan tinggi ternama turut mengecam Perppu tersebut. Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia mendesak kepada DPR untuk menolak Perppu tersebut. Serta menyatakan turut mendukung upaya dari kelompok masyarakat untuk memohon pembatalan norma-norma yang represif tersebut ke hadapan MK (republika.co.id, 15/7).
Sementara Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mengecam Perppu tersebut karena tidak memenuhi syarat konstitusional yakni tidak memenuhi unsur ihwal kegentingan yang memaksa. Juga telah menghilangkan kewenangan pengadilan untuk menilai tindakan ormas dan tindakan represif pemerintah (gatra.com, 13/7).
Karenanya, tindakan bijak bagi petinggi tersebut adalah memberikan ruang dialog di berbagai perguruan tinggi untuk membedah Perppu yang kontroversial tersebut. Sehingga akan terlihat dengan jernih sisi mana yang telah memicu pro dan kontra tersebut.
Para petinggi di negeri ini mestinya mendudukkan perguruan tinggi sebagai ruang uji publik untuk menganalisis berbagai kebijakan secara obyektif dan akademik. Sudah lewat masanya menjadikan perguruan tinggi sekedar sebagai stempel kebijakan penguasa apalagi disertai dengan berbagai ancaman yang memunculkan kegaduhan. Wallahua’lam bi ash-shawab.
Sumber: https://www.facebook.com/kusman.sadik/posts/10213871533532958