Kecut Yen Gampang Kepincut

Oleh: Mahfud Abdullah (Indonesa Change)

Pesta rakyat akan digelar, sistem Pemilu akan dijalankan. Ada momen menarik di bulan Agustus ini, siantaranya deklarasi final Capres – Cawapres untuk Pilpres 2019, yang mana Capres Joko Widodo dan Capres Prabowo Subianto telah mendeklarasikan diri. Jokowi terlebih dahulu mengumumkan siapa cawapres yang jadi pasangannya di pemilu tahun depan, di tempat terpisah Koalisi Prabowo Subianto juga mendeklarasikan capres dan cawapresnya.

Pemilu yang paling rumit dan membutuhkan biaya paling mahal di dunia adalah di Indonesia. Bercermin dari tahun 2014, melibatkan sekitar 4,5 juta petugas pemilu, biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia adalah sebesar Rp 20 triliun. Hal ini terjadi karena Pemilu Indonesia menggunakan asas secara langsung untuk kursi DPD, DPRD, DPR RI. Indonesia sebagai negara terbesar demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Catatan Ahad pagi

Hari ini kita sudh muak dengan tereksposenya oleh media berbagai kepicikan, kenikmatan hedonis dan nafsu pada kemewahan representasi politisi hedonis di negeri ini. Kita butuh pemimpin yang hidup sederhana, ideologis dan menjadi pengayom rakyat.

Suksesi politik di negeri ini bisa gagal, jika yang tampil adalah sosok-sosok penguasa yang melakukan politik pencitraan kelas tinggi dan bergaya hedonis. Hedonisme adalah praktek bersenang-senang secara liar tanpa peduli nasib orang lain. Filsafat hedonisme tak kenal baik dan buruk kecuali mencandu kepuasan sedalam-dalamnya. Sementara hedonisme politik adalah praktek menguras habis, memanfaatkan, memanipulasi, dan mencampakkan kepatutan, hanya demi mencapai ekstase (kesenangan) tanpa batas.

Biasanya kecenderungan kepada hedonisme berpangkal kepada kepribadian seseorang. Misalnya, kesombongan dan egoisme adalah penyebab kecenderungan seseorang kepada kehidupan mewah. Politisi sombong akan selalu membanggakan kekayaan dan kedudukan yang dimilikinya untuk menunjukkan keunggulannya atas orang lain. Inilah hedonisme berbasis kekayaan dan kedudukan. Hedonisme politisi adalah awal dari sesat pikiran dan merosotnya akhlak di kalangan politisi.

Apalagi soal pencitraan. Duh, bandingkan pemimpin zaman sekarang dengan sepenggal biografi Umar Bin Khattab (rodhiallahu ‘anhu), salah satu Khalifah terbaik kaum muslimin, berikut ini:

Suatu malam saat keliling kota untuk blusukan rahasia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anh mendengar anak-anak menangis. Setelah beliau temukan sumbernya, ternyata tangisan itu dari tempat seorang wanita yang memasak batu untuk anak-anaknya yang kelaparan kala paceklik melanda hijaz.

Mengetahui kejadian tersebut, seketika beliau pergi menuju gudang makanan di kota, lalu memanggul sendiri sekarung gandum dengan tergesa menuju rumah keluarga yang kesulitan itu. Bahkan saat seorang pegawainya menawarkan untuk memanggulkan gandum itu, sang Khalifah menolak sambil bertanya, “Beranikah kamu menggantikan memanggul tanggung jawabku di akhirat kelak?”.

Lalu beliau mendatangi rumah itu, memasakkan gandum itu untuk mereka, makan malam bersama mereka, bahkan menghibur sang anak hingga tertidur. Umar bin Khattab tidak menceritakan tentang siapa dirinya kepada keluarga itu. Tak satupun anggota keluarga itu tahu bahwa yang sedang membantu mereka adalah seorang penguasa tertinggi kaum muslimin, Khalifah Umar Bin Khattab ra. Karena Umar yang mengatur negara dengan Islam tidak menghendaki pujian manusia, melainkan pujian dan keridhoan Allah saat dirinya berlaku adil kepada semua rakyatnya.

Di dalam penggalan shirah beliau yang lain, bahkan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum merasa kesulitan untuk mengusulkan kepada Khalifah Umar bin Khattab agar menerima kenaikan tunjangan hidup beliau sebagai Amirul Mukminin, kala harga-harga di pasar mulai merangkak naik. Begitu sulitnya menyampaikan usulan yang menyangkut kesejahteraan keluarga Umar ini, Utsman radhiyallahu ‘anh sampai mengusulkan untuk menyampaikan usulan ini lewat putri beliau, Hafshah binti Umar karena mereka takut beliau murka atas usulan mereka. Benar saja, saat Hafshah radhiyallahu ‘anha menyampaikan usulan itu kepadanya, beliau murka.

“Siapa yang mengajarimu untuk menanyakan usulan ini?”,

“Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu”, jawab Hafshah.

“Demi Allah, andaikata aku tahu siapa yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu!”, dengan tegas Umar menolak.

Inilah gambaran pemimpin yang mencintai dan dicintai oleh rakyatnya. Pemimpin yang sederhana karena takut tidak bisa menyamai ketinggian derajat kedua sahabatnya di mata Allah, Rasulullah dan Abu Bakar. Pemimpin yang memilih hidup sederhana karena ingin mengikuti kesederhanaan hidup dua orang sahabat yang paling dicintainya karena Allah. Pemimpin yang takut akan siksaan Allah bila tidak memimpin dengan adil, bila tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyatnya hatta tak mempedulikan sejahteranya sendiri. Pemimpin yang menangis saat rakyatnya menangis, yang merasa paling bertanggung jawab saat rakyatnya masih ada yang menderita. Inilah pemimpin sederhana yang sebenarnya. Bukan pemimpin yang tampil bersahaja demi pencitraan.

Rakyat negeri ini memang selayaknya sudah hapal dengan berbagai wujud politik pencitraan. Berbagai gaya pencitraan yang membuat penilaian rakyat keblinger sudah pernah dirasa dan diderita. Sudah bukan zamannya lagi kita tertipu dengan politik tipu-tipu ala pencitraan sinetron atau iklan. Ini zaman menjadi muslim yang cerdas, yang menimbang bukan dengan kulit tapi dengan kualitas. Siapapun orangnya, bila mampu memimpin dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah layaknya Khulafaur Rasyidin, dialah pemimpin umat.

Dari manapun golongannya, bila kesederhanaannya muncul karena takut kepada Allah dan mengkhawatirkan nasib rakyat hingga sulit tidur dan sulit makan, dialah pemimpin yang dicinta. Bagaimanapun fisiknya, terlihat perlente, priyayi, atau ndeso, asalkan kebijakannya yang ilahiyah membawa kebaikan bagi seluruh rakyat bahkan seluruh alam, inilah pemimpin yang ditunggu dan digugu, yang ditaati dan di hati tanpa perlu sibuk pencitraan sana-sini.[]

Share artikel ini: