Kebijakan Rezim Bikin Negara Rugi, FAKKTA: Akibat Sistem Kapitalis
Mediaumat.news – Berulangnya kebijakan pemerintah yang berpotensi merugikan negara seperti kebijakan penyediaan beras yang ditaksir negara rugi hingga Rp1,2 triliun, dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak karena rezim menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengelola negara.
“Inilah salah satu dampak ketika rezim ini menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengelola negara,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Jumat (26/3/2021).
Ishak menilai rezim sering kali menghalalkan segala cara dalam mengelola negara. “Meskipun dengan kebijakan yang merugikan negara dan rakyat. Itu dilakukan selama mereka dapat terus berkuasa,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini sering terjadi karena pemerintah tidak memandang kedaulatan pangan sebagai sebuah hal yang esensial, tapi hanya sekadar jargon politik yang didengungkan pada saat kampanye pilpres.
“Setelah itu sejumlah pejabat dan kroni-kroninya malah terlibat dalam praktik korupsi dalam pengadaan impor. Bahkan ditengarai telah menjadi bagian dari pembiayaan kegiatan partai politik yang berkuasa,” ujarnya.
Ia menilai, semestinya jika pemerintah menganggap masalah pangan adalah masalah serius maka swasembada pangan harus diwujudkan. Sebab syarat-syarat untuk menjadi negara swasembada produk-produk pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai, sangat memungkinkan.
“Tapi, jika pemerintahnya tidak serius maka hal itu sulit untuk terwujud. Apalagi impor pangan sangat gurih bagi para pencari rente,” tandasnya.
Menurutnya, persoalan tata niaga impor pangan di negara ini tidak pernah diatasi secara serius. “Bahkan tidak jarang impor pangan dipelihara sebab mendatangkan banyak keuntungan bagi pihak-pihak yang berada atau dekat dengan kekuasaan,” paparnya.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus-kasus impor pangan yang menurut Ishak terindikasi korupsi dan menyeret beberapa pejabat publik ke bui, seperti kasus impor daging sapi, impor bawang putih, dan impor buah hortikultura, dan impor gula.
“Adapun impor beras, semestinya juga diusut sampai tuntas, tapi publik masih sulit percaya lembaga pemerintah mau mengusut hal tersebut secara serius,” ujarnya.
Ia menilai potensi kerugian negara sebesar Rp1,2 triliun tersebut akibat kesalahan perhitungan pemerintah tahun 2018 lalu yang memaksa untuk mengimpor beras. “Padahal kebutuhan beras tidak sebesar yang diperkirakan sehingga pengadaan impor tersebut menumpuk di gudang. Akibatnya sebagian rusak karena tidak dapat diserap pasar,” ungkapnya.
Ia menyayangkan, saat ini pemerintah justru mau mengulangi hal yang sama dan berencana melakukan impor beras di tengah perkiraan BPS bahwa produksi tahun ini diperkirakan lebih tinggi dari tahun lalu serta cadangan bulog yang masih cukup besar plus tambahan cadangan dari penyerapan pada masa panen raya bulan ini dan bulan depan.
“Celakanya bulog tidak memiliki teknologi untuk menjaga mutu beras dalam waktu panjang,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it