Kebijakan Khilafah dalam Penerbitan Buku

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Secara fisik, buku adalah sarana (wasilah), sekaligus bentuk materi (madaniyah). Namun, sebagai sarana dan materi, buku merupakan hasil pemikiran manusia. Karena itu, meski secara fisik merupakan sarana dan materi, tetapi isinya tidak bisa dilepaskan dari pemikiran penulis atau pembuatnya. Sedangkan pemikiran penulis atau pembuat buku tersebut sangat ditentukan oleh akidah dan pandangan hidupnya.

Jika akidah dan pandangan hidupnya bukan akidah dan pandangan hidup Islam, tentu isi buku yang dihasilkannya pun demikian. Terutama ketika akidah dan pandangan hidup yang menjadi kaidah berpikir di tengah masyarakat bukan Islam, seperti saat ini. Namun, boleh jadi kondisinya akan berbeda, ketika akidah dan pandangan hidup yang menjadi kaidah berpikir di tengah masyarakat adalah akidah dan pandangan hidup Islam, sebagaimana yang terjadi di era Khilafah Islam. Contoh nyata dalam hal ini adalah penulis kitabSyarah Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah, Salim Rustum al-Baz. Salim al-Baz penganut Kristen, tetapi bisa menulis kitab syarah fikih Islam.

Karena itu, status buku sebagai sarana dan materi yang dihasilkan oleh pemikiran manusia, ada yang terkait dengan peradaban tertentu. Jika akidah dan pandangan hidup Islam yang menjadi dasar penulisan atau penyusunan buku ini, tentu output-nya, yaitu buku yang dihasilkannya tidak akan menyalahi Islam. Namun, jika akidah dan pandangan yang digunakan untuk menghasilkannya bukan Islam, tentu outputnya pun akan berbeda.

Penerbitan Buku di Khilafah

Pada dasarnya setiap warga negara berhak menerbitkan koran, majalah, baik politik maupun non-politik, juga buku tanpa harus ada izin apapun. Meski demikian, jika ada di antara mereka yang menerbitkan atau mengedarkan produk cetak apapun yang bisa menghancurkan dasar negara, yaitu akidah dan pandangan hidup Islam, maka akan dijatuhi sanksi.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa buku sebagai sarana dan materi yang statusnya mubah. Dalam menerbitkan atau mengedarkan sesuatu yang mubah jelas tidak membutuhkan izin dari negara. Karena logika izin itu berarti, buku tersebut tidak boleh diterbitkan atau diedarkan, kecuali dengan izin. Jelas ini tidak boleh. Karena, negara dianggap melarang sesuatu yang mubah.

Hanya saja, negara diberi hak untuk mengatur penerbitan atau peredaran sesuatu yang mubah dengan cara-cara (uslub) tertentu, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ditetapkan oleh khalifah. Ini dimaksud untuk memudahkan pengurusannya, bukan untuk menghalangi perkara yang mubah. Ini juga tidak berarti, negara tidak melakukan monitoring terhadap isi buku, majalah, koran atau tabloid yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Tentu tidak demikian.

Karena itu, negara tetap melakukan tugas dan fungsinya sebagai negara untuk mengurus urusan rakyat, termasuk memonitor isi buku, majalah, koran atau tabloid yang beredar di tengah-tengah masyarakat agar tidak merusak pemikiran, perasaan, sistem dan interaksi di tengah-tengah mereka.

Jika dalam hal ini ditemukan adanya unsur-unsur yang merusak akidah, menyerang Islam, kaum Muslim, atau kehormatan orang tertentu, seperti tuduhan zina, korupsi dan sebagainya, maka orang yang menyatakan, menulis, menerbitkan dan mengedarkannya akan dikenai sanksi. Sanksi yang telah ditetapkan kadarnya oleh syariat.

Jika yang diterbitkan tersebut berupa majalah, koran atau tabloid yang sifatnya harian, mingguan atau bulanan, maka dilarang hanya terbitan yang mengandung unsur terlarang saja, selebihnya majalah, koran atau tabloidnya tidak dibredel atau dibekukan. Ini berbeda jika yang diterbitkan tersebut berupa buku, tentu buku yang mengandung unsur terlarang tadi tidak boleh diedarkan. Bahkan, di zaman Khilafah Umayyah di Spanyol, buku-buku filsafat, tidak saja dilarang edar, tetapi dibakar.

Dalam kitab Muqaddimah Ibn Khaldun, dituturkan, ketika Sa’ad bin Abi Waqqas menaklukkan Persia, ditemukan banyak buku filsafat Persia. Ketika itu, Sa’ad meminta izin kepada Khalifah Umar bin al-Khatthab, untuk menyalin dan memanfaatkan buku-buku tersebut. Dengan tegas Umar menyatakan, “Kalau kamu mendapatkan manfaat di dalamnya, maka Alquran jauh lebih bermanfaat. Maka, buanglah buku-buku itu ke laut.” Akhirnya, Sa’ad pun melaksanakan instruksi Khalifah Umar. Buku-buku filsafat Persia itu pun dibuang ke laut.

Sanksi

Sanksi tersebut didasarkan pada kualifikasi kesalahan yang dilakukan oleh penulis, pembuat atau pengedar buku-buku tersebut. Jika buku yang ditulis atau diterbitkan tersebut isinya menyerang kehormatan orang atau pihak lain, seperti tuduhan korupsi, bohong dan sebagainya, jika tidak bisa membuktikan tuduhannya, maka sanksinya adalah hukuman cambuk, dan kurungan selama 1 hingga 24 bulan. Namun, jika buku yang ditulis atau diterbitkan tersebut isinya menghina orang atau pihak lain, seperti, maka sanksinya adalah hukuman cambuk dan kurungan selama 1 hingga 6 bulan.

Tiap tulisan, baik dalam bentuk buku, majalah, koran atau tabloid, yang isinya membuat orang ragu terhadap hukum Islam, kelayakan sistem Islam, baik sebagian atau keseluruhan, maka penulis, penerbit dan pengedarnya akan dikenakan sanksi hukuman kurungan selama 2 hingga 10 tahun. Bahkan, bisa sampai dijatuhi hukuman mati.

Tiap tulisan, baik dalam bentuk buku, majalah, koran atau tabloid, yang isinya memprovokasi sentimen kesukuan dan kedaerahan, maka pelakunya akan dikenai sanksi hukuman kurungan selama 5 sampai 10 tahun. Bahkan, bisa sampai dijatuhi hukuman mati.

Tiap tulisan, baik dalam bentuk buku, majalah, koran atau tabloid, yang isinya bisa menggoyahkan keyakinan kaum Muslim kepada negara, entitas umat Islam, memprovokasi kaum Muslim untuk melawan non-Muslim, atau sebaliknya, maka pelakunya akan dikenai sanksi hukuman kurungan selama 5 sampai 10 tahun.

Jadi, siapa saja yang menyebarkan ideologi atau pemikiran kufur, dalam bentuk apapun, termasuk buku, majalah, koran atau tabloid, jika dia non-Muslim, maka akan dikenai sanksi hukuman kurungan selama 2 hingga 10 tahun. Tetapi, jika dia Muslim, maka akan dikenai sanksi riddah, yaitu dibunuh.

Semua bentuk tulisan, baik dalam bentuk buku, majalah, koran atau tabloid, yang isinya menyerang akidah kaum Muslim, jika pelakunya non-Muslim, maka dikenai sanksi hukuman kurungan selama 5 hingga 15 tahun. Jika pelakunya Muslim, dan serangan tersebut termasuk dalam kategori membuatnya kafir, maka dia dikenai sanksiriddah, yaitu dibunuh.

Semua bentuk tulisan, baik dalam bentuk buku, majalah, koran atau tabloid, yang isinya mempromosikan akidah dan pemikiran kufur, maka pelakunya dikenai sanksi hukuman kurungan selama 5 tahun.

Sanksi ini tidak hanya berlaku bagi penulis, tetapi juga bagi penerbit dan pengedarnya. Karena kesalahan ini dihukumi secara kolektif, sebagaimana Ali bin Abi Thalib menegaskan, bahwa pencuri yang melakukan pencurian bersama-sama, dikenai sanksi potong tangan. Hal yang sama, diberlakukan terhadap orang yang membunuh satu orang secara bersama-sama, juga dikenakan sanksi hukuman mati. Karena kejahatannya dilakukan bersama-sama.

Dengan cara seperti ini, negara khilafah bisa menjaga akidah dan pandangan hidupnya. Negara juga bisa melindungi warganya dari berbagai provokasi, penyimpangan dan berbagai tindakan destruktif yang bisa mengancam eksistensinya.[]

Share artikel ini: