Kebencian yang Disponsori Negara?

Oleh: Chandra Purna Irawan,S.H.,M.H. (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI dan & Sekjend LBH PELITA UMAT)

Kutipan cuplikan pidato Joko Widodo  (“Tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila! Yang mempermasalahkan Pancasila!”.

Sumber ; https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190715111955-32-412158/diksi-keras-pidato-jokowi-dan-potensi-otoriter-jaga-pancasila

Menanggapi hal tersebut di atas, saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

Pertama, bahwa wajib ada definisi dan batasan konkret terkait apa saja yang dapat dinilai sebagai “mengganggu dan mempermasalahkan Pancasila”. Sebagai negara hukum (rechtsstaat) kebijakan dan tindakan Pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang, apabila tidak maka akan terjerumus ke dalam negara kekuasaan (machstaat) yang berpotensi menjadi diktator. UU yang saya maksud agar membatasi Pemerintah sebagai penafsir tunggal terhadap Pancasila;

Kedua, bahwa saya menyeru Pemerintah untuk tidak melakukan stigmatisasi dan tindakan persekusi terhadap seseorang dan kelompok sebagai ‘anti pancasila, anti kebhinekaan, mengganggu dan mempermasalahkan Pancasila’, apabila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi persekusi di akar rumput rakyat. Apabila itu terjadi, maka saya menilai bahwa negara dikhawatirkan mensponsori kebencian terhadap sesama anak bangsa. Sebagai contoh, banyak ulama, aktivis dan para ustadz mengalami persekusi baik di instansi kerja dan/atau masyarakat, padahal mereka hanya melakukan aktivitas dakwah, menyampaikan ajaran Islam dan tidak pernah melakukan tindakan kekerasan;

Ketiga, bahwa dalam memberikan kepastian hukum, sebaiknya Pemerintah menempuh jalur pengadilan agar orang dan kelompok yang dituduh anti Pancasila dapat melakukan pembelaan atas segala tuduhan. Tindakan ini lebih terhormat sesuai asas hukum ‘due process of law’ ketimbang melakukan stigmatisasi dan persekusi;

Keempat, bahwa saya mengingatkan kepada Pemerintah tentang sejarah raja Louis XIV di Perancis dengan semboyan yang terkenal L’etat c’est moi yang berarti ‘negara adalah saya’.  Maksud saya adalah agar Pemerintah tidak membangun narasi dan slogan yang berpotensi sama, misalnya SAYA INDONESIA, SAYA PANCASILA. Saya tidak bermaksud menuduh, hanya mengingatkan. Pernyataan raja Louis XIV bahwa “negara adalah saya” sesungguhnya terlihat begitu memalukan dan arogan.  Bagaimana mungkin negara yang terdiri atas beraneka ragam rakyat, disempitkan menjadi sebatas dirinya saja? Ini sangatlah tidak masuk akal, dan terkesan arogan diktator. Wallahualam bishawab.[]

Share artikel ini: