Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim KH Rokhmat S Labib beberkan definisi keadilan hukum dari sudut pandang Islam. “Adil itu adalah mengambil apa yang menjadi haknya dan memberikan apa yang menjadi kewajibannya,” ujarnya dalam RH Digeruduk KH Rokhmat S Labib, Yuk Kita Omong Soal Tafsir Karya Beliau, Kamis (28/7) di kanal YouTube Refly Harun.
Artinya, sambung Kiai Labib, sebuah hukuman layak disebut adil apabila sepadan dengan perbuatan yang dilakukan.
Adalah Islam, berikut panduan hidup berupa Al-Qur’an yang diturunkan berikut dengan instrumen ukur yang adil. “Islam datang dengan ukuran yang adil,” ucapnya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya, ‘Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil’ (QS al-An’am: 115).
Lantas sebagaimana pula dalam hal kepastian isi Al-Qur’an, maka bagi orang bertakwa senantiasa membenarkan semua yang terkandung di dalamnya. ‘Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan; petunjuk bagi mereka yang bertakwa’, demikian bunyi surah al-Baqarah ayat kedua.
Sebutlah ketika Islam memerintahkan qisas bagi pembunuh, misalnya. Ketentuan itu, kata Kiai Labib, adalah salah satu bentuk dari keadilan Allah SWT.
“Itulah hukum yang adil,” tegasnya, mengutip surat al-Baqarah ayat 178 yang mewajibkan pelaksanaan jinayah tersebut, yang artinya, ‘Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh’.
Meski tampak kejam, lanjut Kiai Labib, di dalam qisas hakikatnya terdapat kehidupan.
“Para ulama mengatakan kalau hukuman qisas itu diterapkan, diundangkan maksudnya, maka mengakibatkan apa? Orang yang mau membunuh takut membunuh,” terangnya, yang berarti orang yang akan dibunuh tetap hidup.
Sehingga ketika tidak jadi melakukan pembunuhan, calon pelaku enggak bakalan diqisas. “Jadi masyaAllah luar biasa hukuman keras kepada pelaku kejahatan itu,” tandasnya.
Di sisi lain pun, andai ditanyakan perihal bentuk hukuman yang pantas bagi pembunuh, kata Kiai Labib, niscaya keluarga korban cenderung mengatakan bunuh juga.
Namun satu hal yang menjadi perhatiannya, yakni tidak lantas kemudian qisas diberlakukan seketika. Pasalnya Islam memiliki instrumen keadilan lain yakni pemaafan dari pihak keluarga korban.
Diyat
Diyat, instrumen pemaafan dengan membayar denda berupa atau senilai seratus unta, dengan salah satu ketentuan, 40 di antaranya dalam keadaan bunting, yang tentunya diberikan kepada keluarga korban.
Tetapi apabila memberatkan karena memang tidak mampu, lanjut Kiai Labib, keluarga korban boleh mengikhlaskan.
Dengan demikian, hukum di dalam Islam sangat kontras bila dibandingkan dengan hukum yang diberlakukan saat ini yang menurunya, justru sangat mungkin bisa dinegosiasikan.
Apalagi yang berhak menuntut keadilan bukanlah keluarga korban tetapi jaksa yang notabene tidak ada hubungan sama sekali, emosional misalnya, dengan peristiwa yang terjadi.
Tuntutannya juga relatif tak sepadan dengan hilangnya nyawa seseorang. “Terus keluarga korban dapat apa? Kehilangan bapak, dan sebagainya. Apalagi dalam sistem sekarang, siapa yang akan bertanggung jawab ketika sudah meninggal tadi,” ucapnya prihatin.
Kalaupun didenda, enggak bakalan diberikan kepada keluarga korban, namun masuk kas negara. “Didenda pun, tidak banyak, masuk ke kas negara,” timpalnya, seraya juga meragukan seorang narapidana menjadi lebih baik ketika keluar dari penjara.
Pasalnya, kata Kiai Labib, hukum yang digunakan saat ini memang bukan dari Zat yang Mahaadil, Allah SWT.
Sehingga, seolah-olah hakim hanya bertanggungjawab kepada sesama manusia, dalam hal ini atasannya. “Kalau dalam Islam, hakim pertanggungjawabannya kepada Allah,” tegasnya.
Belum lagi nilai ruhiyah yang ada pada diri hakim tatkala menggunakan syariat Islam yang menjadikan dirinya seolah-olah sedang dilihat Allah SWT.
Tak Selalu Buruk
“(Hukuman) keras itu tidak selalu buruk. Kadang-kadang keras itu diperlukan,” sambung Kiai Labib.
Maknanya, seperti halnya mengobati pasien, seorang dokter terkadang cukup memberi saran atau menuliskan resep obat, bahkan malah menganjurkan operasi sebagai bagian dari penyelamatan tubuh pasien secara keseluruhan.
“Maksud saya jangan dilihat keras tidaknya, tetapi benar atau tidak, baik apa tidak,” urainya.
Sementara apabila terdapat penolakan terkait kebaikan hukum-hukum Islam, menurutnya bisa jadi karena umat memang kurang dalam hal memahami suatu persoalan hukum.
“Orang bisa jadi, atau kadang orang menolak itu bukan paham secara keseluruhan. Tetapi mungkin dia yang mendapatkan pemahaman yang sedikit,” sebutnya.
“Lalu dengan yang sedikit itu kemudian digunakan untuk memberikan sikap,” imbuhnya menyayangkan.
Lebih-lebih menggunakannya sebagai alat provokasi. “Bayangkan, ada satu kampung. Kampung ini belum kenal listrik lalu kemudian ada program listrik masuk desa,” ucapnya, menggambarkan ada provokator yang tidak ingin fasilitas listrik, yang pada dasarnya memudahkan, masuk dalam kehidupan.
Alhasil ketika mendapatkan info listrik dari sisi keras atau bahayanya saja, berdampak umat menolak ramai-ramai program tersebut. Padahal jika dijelaskan, listrik amat bermanfaat.
“Tentang setrum, jangan khawatir, ada kabel, dan seterusnya,” timpal Kiai Labib, terkait kelengkapan informasi seharusnya.
Sama halnya dengan qisas, yang apabila ada umat belum paham, sekali lagi kata Kiai Labib, tugas kita semua memberi pemahaman.
Dengan kata lain, menjadi tugas Muslim yang lebih dahulu paham untuk menyampaikan risalah dimaksud. “Belum tahu, maka tugas kita adalah memberitahu. Belum paham, tugas kita adalah memberi pemahaman,” pungkasnya.[] Zainul Krian