Keadilan Hakim Pada Era Khilafah

Oleh: Boedihardjo,S.H I

Suatu hari, ada seorang pria diajukan ke hadapan Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjadi khalifah. Pria ini ditemukan di reruntuhan. Tangannya menghunus pisau yang masih belepotan darah, sementara di hadapannya ada korban yang meninggal dunia, berlumuran darah. Ketika dia ditanya Ali, dia menjawab, “Aku telah membunuhnya.” Maka, Ali pun menginstruksikan, “Bawa dia, dan hukumlah.” Saat pria ini hendak dibawa, tiba-tiba muncul pria lain, menghadangnya, dan berkata, “Jangan buru-buru. Kembalikanlah orang ini kepada Ali.”

Orang-orang yang membawa pria tersebut pun kembali, dan mengembalikannya kepada Ali. Saat itulah, pria kedua ini berkata kepada Ali, “Wahai Amirul Mukminin, bukan dia yang membunuh, tetapi akulah yang membunuh korban.” Setelah mendengar pengakuan pria ini, Ali pun bertanya kepada pria pertama yang ditangkap tadi, “Mengapa kamu mengakui sebagai pembunuhnya?” Pria ini menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang bisa aku lakukan? Ketika patroli keliling menemukan korban berlumuran darah, aku ada di TKP. Kebetulan aku membawa pisau yang masih belepotan darah. Aku pun terjatuh di reruntuhan. Khawatir penyataanku tidak diterima, maka akui saja perbuatan yang sebenarnya tidak aku lakukan. Setelah itu, aku serahkan nasibku kepada Allah SWT.”

Mendengar penjelasan pria tersebut, Ali pun berkata, “Sungguh, tindakanmu ini tidak benar. Lalu, bagaimana sebenarnya kronologinya?” Pria ini pun menuturkan kisahnya, “Sebenarnya aku seorang pemotong hewan. Aku berangkat ke tempat kerjaku di penghujung malam. Aku menyembelih sapi, kemudian mengulitinya, sementara pisau masih di tanganku, lalu aku ingin buang air kecil. Aku pun menuju ke reruntuhan yang ada di dekatku. Aku memasukinya. Setelah menyelesaikan hajatku, akupun hendak kembali ke tempat kerjaku. Ternyata, di sana ada korban yang berlumuran darah. Aku mengamatinya, sementara di tanganku masih tergenggam pisau belepotan darah. Tanpa kusadari, saat itu patroli melintas. Mereka pun menangkapku, sambil berkata, “Orang ini telah membunuh korban. Tidak ada pelaku lain, selain dia.” Aku yakin, Anda lebih percaya perkataan mereka, ketimbang perkataanku, sehingga aku pun mengakui saja perbuatan tersebut, yang sebenarnya tidak aku lakukan.”

Setelah mendengar penuturan pria pertama ini, Ali pun meminta pria kedua tadi menuturkan kisahnya. “Aku diperdaya oleh Iblis, sehingga aku membunuh korban, karena ambisi menguasai hartanya. Ketika melihat patroli, aku pun meninggalkan reruntuhan itu. Saat itu, aku melihat pria pemotong hewan ini. Aku pun bersembunyi darinya di balik reruntuhan, sampai akhirnya patroli menangkapnya, dan membawanya di hadapan Anda. Ketika Anda memutuskan untuk menghukumnya, aku sadar bahwa aku telah menyebabkan dirinya celaka, sehingga aku harus berani mengakui kenyataan ini.”

Dalam kondisi pelik seperti ini, Ali pun meminta nasihat putranya, Sayyidina al-Hasan, “Bagaimana menurutmu, hukuman untuk kasus ini?” al-Hasan menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, meski pria ini telah membunuh satu jiwa, tetapi dia telah menghidupkan jiwa yang lain. Dalam hal ini, Allah berfirman: “Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka dia seolah-olah telah memelihara kehidupan seluruh umat manusia.” (TQS al-Maidah: 32).”

Setelah itu, Ali bin Abi Thalib pun membebaskan pria pertama dan kedua, kemudian memberikan uang kepada pria kedua untuk membayar diyat yang harus diserahkan kepada keluarga korban. Uang itu diambilkan dari dana Baitul Mal. Begitulah, cara Ali bin Abi Thalib memutuskan perkara yang pelik ini. Di sana, ada keadilan dan keagungan hukum Islam. [dikutip dari at-Thuruq al-Hukmiyyah, karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah][]

Share artikel ini: