Kaum Antivax & Bumi Datar

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Difteri kembali mewabah di Indonesia. Kementerian Kesehatan bahkan sudah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) karena penyakit mematikan yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diptheriae ini telah memakan puluhan korban jiwa setidaknya di 20 provinsi.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan ada 622 kasus, 32 diantaranya meninggal.

Difteri sebenarnya merupakan penyakit lama yang sudah ada vaksin penangkalnya yang disebut vaksin DPT. Idealnya, vaksin ini diberikan minimal tiga kali seumur hidup sejak berusia dua tahun. Vaksin ini akan efektif jika diberikan setiap 10 tahun.

Menurut guru besar FKUI Jose Rizal Latief Batubara, “Ini sebenarnya penyakit lama yang harusnya sudah hilang dengan vaksinasi, tapi karena ada kelompok-kelompok anti vaksinasi, nggak semua anak divaksin jadinya”.

Di kalangan Muslim, gerakan antivax sering mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), seraya juga menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat”.  Patut diduga bahwa gerakan antivax di kalangan Muslim ini justru dari mereka yang ghirah keislamannya tinggi.

Sangat menarik untuk mengetahui, bahwa justru cikal bakal vaksinasi itu dari dokter-dokter Muslim zaman khalifah Turki Utsmani, bahkan mungkin sudah dirintis sejak zaman Abbasiyah. Ini diceritakan pada buku “1001 Inventions Muslim Heritage in Our World” (buku ini bisa didownload di https://archive.org/details/1001Inventions-TheEnduringLegacyOfMuslimCivilization): Di halaman 176 tertera: “The Anatolian Ottoman Turks knew about methods of vaccination, they called vaccination Ashi or engrafting, and they had inherited it form older turkic tribes”.

Vaksinasi adalah proses memasukkan kuman yang telah dilemahkan ke dalam tubuh untuk mengaktifkan sistem kekebalan yang sebenarnya sudah ada didalam tubuh tapi belum aktif.  Kekebalan itu tidak muncul sendiri meski saat baru lahir bayi ditahnik dan selama dua tahun mendapatkan ASI.  Tanpa vaksinasi, kekebalan itu baru muncul setelah orang terserang penyakit, bila dia selamat.  Namun yang lebih sering terjadi, sebelum kekebalan itu muncul, pasien sudah telanjur meninggal atau cacat.  Jadi vaksinasi ini adalah cara merangsang kekebalan dengan risiko minimal.  Tentu saja yang dirangsang hanya kekebalan untuk penyakit tertentu, yang dianggap sedang amat berbahaya karena fatal dan sangat menular, seperti cacar, polio, difteri atau meningitis.  Penyakit meningitis tidak ada di Indonesia, tetapi ada di Saudi Arabia, sehingga para jamaah haji diwajibkan oleh pemerintah Saudi untuk vaksinasi meningitis.

cover buku Medieval Islamic Medicine karya Peter E. Pormann and Emilie Savage-Smith

Lady Mary Wortley Montagu (1689-1762), istri dari duta besar Inggris untuk Turki saat itu, membawa ilmu vaksinasi ke Inggris untuk memerangi cacar ganas (smallpox).  Namun Inggris perlu menunggu hampir setengah abad, sampai tahun 1796 Edward Jenner mencoba teknik itu dan menyatakan berhasil.  Cacar ganas yang pernah membunuh puluhan juta manusia hingga awal abad-20, akhirnya benar-benar berhasil dimusnahkan di seluruh dunia dengan vaksinasi yang massif.  Kasus cacar ganas terakhir tercatat tahun 1978.  Akhirnya Jennerlah yang disebut dalam sejarah sebagai penemu vaksinasi, terutama vaksin cacar.

Gerakan anti-vaksinasi muncul di Inggris sejak hari pertama ilmu dari Daulah Khilafah ini diperkenalkan.  Saat itu argumentasi agama (Kristen) juga digunakan.  Hampir sama dengan argumentasi anti-vaksinasi yang sekarang kita dengar, seperti keraguan keamanannya, kehalalannya, sampai tuduhan adanya konspirasi untuk melemahkan suatu bangsa.  Saat itu, di Inggris ada dugaan bahwa vaksinasi itu jangan-jangan tipu daya melemahkan Inggris yang lagi berhadapan dengan Khilafah Utsmani.

Dari sisi keamanan, vaksin yang sama saat itu juga dipakai di Turki, sama seperti sekarang vaksin yang sama juga dipakai di Amerika Serikat atau Israel.

Dari sisi kehalalan, jumhur ulama, termasuk dari Salafi dan Hizbut Tahrir bahkan menganjurkan vaksinasi.  Vaksinasi sudah diakui menjadi cara medis preventif.  Meski dia diberikan pada saat pasien masih sehat, namun tidak diragukan, vaksinasi adalah tindakan medis, baik diberikan dengan suntikan atau dimasukkan melalui mulut – dan cara ini tidak bisa dianggap memberi minuman.  Karena itu hukum vaksinasi adalah hukum pengobatan, bukan hukum minuman.

Teknologi kesehatan ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang terlanjur sakit.  Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.

Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran.  Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran.  Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.

Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik.  

Kaum Bumi Datar


Gambar di manuskrip Qutubuddin al-Syairazi (1236-1311). Gambar itu menjelaskan kesalahan dan kerumitan episiklus dalam model planet dari Ptolomeus.

Selain kelompok antivax ini, di tengah-tengah umat Muslim juga ada kelompok atau kaum “bumi datar”, yakni yang lebih percaya bahwa bumi ini datar.  Ini artinya, ide bahwa bumi ini bulat, ada gravitasi, ada penerbangan ke luar angkasa dan ada satelit, itu semua mereka anggap omong kosong atau tipu-tipu dari para kapitalis kafir.

Padahal fakta bahwa bumi itu bulat sudah disadari dan dibuktikan dengan mudah dan telak sejak Eratosthenes di zaman Yunani kuno.  Dan para astronom Muslim seperti Ibnu al-Haytsam, Ibnu al-Syatir dan Qutubuddin al-Syairazi sudah membuat model tata surya non Ptolomeus yang berpusat di matahari.  Sedang Muayyaduddin Urdi secara total menolak model Ptolomeus karena dasar empiris, tak hanya filosofis.  Ini 5 abad sebelum Nicolaus Copernicus.

Lantas apa kesamaan kelompok antivax dengan kelompok bumi datar yang berasal dari umat Muslim?

Keduanya ternyata memiliki beberapa kesamaan:
(1) sama-sama kehilangan kepercayaan kepada sistem kapitalis dan pemerintah yang tunduk kepada hegemoni Barat/Cina.  (2) sama-sama memiliki ghirah (semangat) keislaman yang tinggi.  (3) sama-sama yakin dan berharap Islam memberikan solusi atas problematika dunia saat ini.  (4) sama-sama kurang memiliki kesabaran untuk serius mempelajari sains dan teknologi.  (5) sama-sama akhirnya menjadi bahan olok-olok dari para pembenci Islam, semisal pembela penista agama.

Karakter no 1 sampai 3 adalah positif.  Kalau ini diimbangi dengan kesabaran untuk belajar sains dan teknologi dari sumber yang shahih tentu luar biasa. []

Share artikel ini: